Nasional

Hukuman Mati bagi Koruptor Hanya untuk Menakuti

Sen, 21 Juni 2021 | 07:00 WIB

Hukuman Mati bagi Koruptor Hanya untuk Menakuti

Ilustrasi hukum. (Freepik).

Jakarta, NU Online 
Dosen Hukum Pidana Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, KH Nurul Irfan mengatakan hukuman mati di Indonesia bagi koruptor hanya untuk menakuti, tidak pernah diterapkan secara nyata.

 


Ia sangat menyayangkan dengan fakta tersebut. Padahal beberapa kasus korupsi di tanah air sudah bisa masuk dalam ketentuan undang-undang anti korupsi seperti korupsi bantuan sosial saat terjadi bencana nasional.

 

Pernyataan tegas ini ia sampaikan saat diskusi panel Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU) yang diikuti sejumlah perwakilan pengurus LDNU daerah dan masyarakat umum, Ahad (19/6).

 

"Ada aturan yang bisa memberikan hukuman berat kepada koruptor seperti hukuman mati bagi yang korupsi dana bantuan sosial saat ada bencana nasional," jelasnya.

 

Harusnya, kata dia, beberapa kasus yang ada di Indonesia sudah memenuhi syarat untuk hukuman mati. Sayangnya, hingga saat ini hanya berfungsi untuk menakuti saja dan tidak pernah diterapkan. Tentu saja hal ini jadi masalah.

 

Kiai Nurul Irfan menambahkan, ada baiknya korupsi dimasukan dalam kategori jarimah ta'zir. Dengan begitu, hukuman yang diberikan kepada koruptor bisa lebih maksimal.

 

Dijelaskannya, jarimah ta'zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh pengusa (hakim) sebagai pelajaran kepada pelakunya. Selanjutnya, tinggal meminta ketegasan pemerintah menerapkan aturan yang sudah dibuat dan disepakati agar undang-undang yang ada tidak menganggur atau sia-sia.

 

"Dari sini kita bisa membantu pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Bisa didorong untuk buat aturan yang tegas dan menerapkan. Jika dimasukkan dalam kategori pencurian maka dikenakan potongan tangan, terlalu ringan," imbuhnya.

 

Kiai Nurul juga meminta para da'i agar tidak takut bicara korupsi di depan umum. Karena budaya korupsi juga sudah membudaya dan jadi kebanggaan. Bahkan beberapa orang dengan bangga bersedekah dengan hasil korupsinya. Baginya, sedekah dengan uang korupsi ibarat shalat tanpa wudlu alias tidak diterima oleh Allah Swt.

 

“Di sinilah pentingnya khatib jumat tidak malu dan tidak takut untuk mengangkat tema korupsi,” ujarnya.

 

Peran mimbar sebagai lembaga pendidikan masyarakat akan lebih optimal saat membahas korupsi. Setidaknya masyarakat bisa lebih memahami tentang kejahatan korupsi.

 

"Saya pernah mengisi khutbah di instansi pemerintah. Hari itu saya bawa tema melawan korupsi. Kemudian, hari itu menjadi hari terakhir saya diberikan jadwal. Nampaknya ada yang tidak senang dengan materi saya," kenangnya sambil tersenyum.

 

Sementara itu, Ketua LD PBNU, KH Agus Salim memberikan gambaran bahwa pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan dua hal. Tindakkan pencegahan dini dan tindakan dengan memberikan efek jera. Keduanya selayaknya berjalan beriringan.

 

"Titik fokusnya pencegahan korupsi kepada generasi muda.Sebaiknya KPK bekerjasama dengan lembaga lain seperti Lakpesdam NU dan LDNU dalam pencegahan korupsi sedini mungkin. Terpenting bagaimana kita bisa memberikan pemahaman generasi penerus bangsa," tambahnya.

 

Dalam penjelasannya, Kiai Agus menegaskan pemberantasan korupsi perlu kerja secara terus menerus dan melibatkan banyak orang dan instansi. Membutuhkan nafas yang panjang melawan korupsi. Agar bergerak secara masif dan terarah.

 

"Diperlukan ada kerja terus menerus memberikan pemahaman bahwa korupsi itu tidak baik. Di sinilah peran dakwah sangat perlu. KPK bagian menangkap di lapangan dan untuk antisipasi kerjasama dengan lembaga lain," tandasnya.

 

Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Aiz Luthfi