Nasional

Pelemahan KPK Makin Membuat Demokrasi Indonesia Terpuruk

Ahad, 23 Mei 2021 | 13:30 WIB

Pelemahan KPK Makin Membuat Demokrasi Indonesia Terpuruk

Tangkapan layar Diskusi Regresi Demokrasi dan Masa Depan Reformasi, yang digelar mengenang 23 Tahun Reformasi, Ahad (23/5).

Jakarta, NU Online
Sejumlah kejadian di Indonesia menunjukkan tanda-tanda menurunnya demokrasi. Iklim demokrasi yang dengan susah payah diraih, kini terus mengalami kemunduran. Tanda kemunduran terbaru adalah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengemban agenda reformasi dan demokratisasi yaitu pemberantasan korupsi.


Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Gita Putri Damayana mengatakan bahwa upaya pelemahan KPK bukan hal baru di Indonesia karena telah terekam dalam sebelas tahun terakhir. “Pelemahan KPK bukan merupakan sesuatu yang baru, melainkan sudah pernah berlangsung sejak pertama tahun 2009, 2012, 2015, dan 2017, yang terjadi dari luar yang menimpa pegawai KPK,” kata dia.


Gita menyebutkan upaya pelemahan KPK yang terbaru adalah Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang menyebabkan terdepaknya 75 pegawai KPK yang dikenal berintegritas tinggi. “75 pegawai KPK dengan rekam jejak dan integritas yang baik terjegal oleh TWK,” kata dia.


Tes tersebut dinilainya bermasalah dari dua sisi yakni secara formal, di mana tes tersebut tidak pernah menjadi syarat terkait alih fungsi pegawai KPK menjadi ASN dan dari sisi materiil, di mana materi tes tersebut tidak relevan dengan tujuan pemberantasan korupsi.


Sementara Ketua Dewan Pengurus Public Virtue Research Institute Usman Hamid mengungkapkan bahwa asumsi dan harapan akan tercapainya demokrasi yang terkonsolidasi mulai pudar.

 

“Lembaga-lembaga demokrasi baru diambil alih oleh kepentingan anti-demokrasi, sebagian di antaranya diinkubasi semasa Orde Baru, sebagian lain tumbuh di era reformasi,” katanya dalam kesempatan sama pada diskusi Regresi Demokrasi dan Masa Depan Reformasi, yang digelar mengenang 23 Tahun Reformasi, Ahad (23/5).


Ia mengatakan, demokrasi yang diharapkan menguat malah mundur. Ini ditandai dengan enam tanda kemunduran dalam lima tahun terakhir. Pertama, menyusutnya kebebasan sipil. Kedua, menguatnya pemerintah pusat melalui UU Cipta Kerja. Ketiga, menurunnya akuntabilitas dan peran oposisi partai politik. Keempat, lemahnya supremasi hukum dan HAM. Kelima, penguasaan media oleh elit politik pebisnis yang membela kepentingan partisan. Keenam, polarisasi masyarakat sipil akibat perbedaan ideologis dan preferensi elektoral.


Ia mengatakan, ada berbagai sebab dibalik kemunduran demokrasi ini. Namun setidaknya menurut dia, ada dua hal yang nampak melatarbelakangi hal tersebut, yakni orientasi pembangunan ekonomi, proyek investasi, infrastruktur dan industri ekstraktif.

 

“Semua dilakukan demi masuknya investasi tanpa hambatan,” kata Usman yang juga merupakan Direktur Amnesty International Indonesia.


Pembicara lain, mantan Pimpinan KPK periode 2015-2019 Laode Syarief membenarkan terjadinya regresi demokrasi. Ia menambahkan penyebab utamanya adalah kuatnya budaya korupsi di dalam momen pemilihan umum.

 

“Betul terjadi regresi demokrasi di Indonesia. Bagaimana tidak, setiap pemilihan pejabat publik selalu melibatkan uang haram,” kata Laode merujuk pada kasus penyuapan yang melibatkan pimpinan Mahkamah Konstitusi.


Direktur Eksekutif Kemitraan ini mengingatkan untuk tidak berharap yang muluk-muluk, apalagi sampai berharap akan lahirnya demokrasi yang berkualitas. “Jangan berharap demokrasi lahir dari pemilu yang jorok,” kata dia.

 

“Diakui oleh Pak Menko, lebih dari 92 persen calon kepala daerah dibiayai cukong,” imbuh dia sambil merujuk statemen Menkopolhukam Mahfud MD.


Menurut dia, di dalam kondisi demikian justru dibutuhkan peran aktif KPK. “Di sinilah KPK sangat penting agar tidak ada impunitas bagi para pejabat tinggi, untuk menegakkan demokrasi melalui penegakan hukum yang tidak pandang bulu,” ujarnya.


Sementara itu, aktivis ICW Lalola Easter Kaban memaparkan temuan ICW yang menunjukkan minimnya prestasi pimpinan KPK saat ini. Ia merujuk proses hukum perkara korupsi suap PDI-P dengan KPU yang menguap, rekomendasi KPK atas FABA batu bara yang dikeluarkan dari limbah B3, SP3 tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim, hingga gagalnya KPK menggeledah dan menyita barang bukti perkara dugaan korupsi di Kalimantan Selatan.


Lola membeberkan data latar belakang profesi pelaku Korupsi KPK tahun 2020 yang didominasi kalangan swasta sebanyak 39 persen, disusul DPR dan ASN masing-masing 17.2 persen, kepala daerah 9,7 persen, BUMN 8,6 persen, dan penegak hukum 4,3 persen.

 

“Memang saat ini di KPK banyak kasus swasta, dan berbeda dengan di kejaksaan di mana yang paling banyak adalah kasus ASN,” katanya.


Sementara itu, Ketua PUKAT UGM Pusat Totok Dwi Diantoro menyatakan, kondisi demokrasi saat ini sangat terancam. Ia mengatakan bahwa upaya pelemahan KPK melalui revisi UU dan yang lain, lahirnya UU Cipta Kerja, juga UU Minerba telah melemahkan demokrasi dan menunjukkan kuatnya peran kelompok oligarki di Indonesia.


“Sebagai negara yang menjalankan transisi demokrasi, kita punya kebutuhan untuk mengonsolidasi demokrasi. Namun yang lebih kuat adalah oligarki. Oligarki ini lebih kuat dan lebih cepat melakukan konsolidasi, mulai dari pelemahan KPK, UU Cipta Kerja, Revisi UU Pertambangan, sentralisasi kekuasaan pusat kembali melalui UU Cipta Kerja yang disusun cepat. Itu menunjukkan kuatnya kepentingan yang bermain adalah memberikan perlindungan bagi oligarki,” kata dia.


Diskusi yang digelar tersebut adalah kerja sama Public Virtue Research Institute (PVRI), Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) serta Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera.


Pewarta : Ahmad Rozali
Editor: Muhammad Faizin