Opini

Beberapa Kelemahan TWK KPK

Kam, 20 Mei 2021 | 12:45 WIB

Beberapa Kelemahan TWK KPK

Ilustrasi gedung KPK. (Foto: today.line.me)

Oleh Fatkhu Yasik


Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) untuk pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilaksanakan beberapa waktu yang lalu telah memantik ketidakpuasan banyak pihak. Alih-alih menjadi instrumen untuk memperoleh pegawai yang memiliki komitmen kuat terhadap ideologi negara, justru tidak sedikit kalangan yang menilai TWK ini sebagai dalih untuk menyingkirkan sebagian pegawai KPK.


Tujuan pelaksanaan TWK sendiri sebagaimana yang tertuang dalam Permenpan RB No. 36 Tahun 2018 tentang Kriteria Penetapan Kebutuhan PNS dan Pelaksanaan Seleksi Calon PNS adalah untuk menilai penguasaan pengetahuan dan kemampuan mengimplementasikan nasionalisme, integritas, bela negara, pilar negara, Bahasa Indonesia, Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Artinya tiap butir instrumen (pertanyaan) yang dikembangkan harus merujuk pada 9 (Sembilan) aspek tersebut, mulai dari aspek nasionalisme sampai NKRI. Tidak boleh ada satu aspek pun yang tidak diukur, dan juga tidak boleh ada satu pertanyaan pun yang tidak terkait dengan kesembilan aspek tersebut.


Jika kita cermati, kegiatan tes wawasan kebangsaan yang kita kenal dengan TWK ini sebenarnya adalah kegiatan pengukuran (measurement). Di kalangan evaluator, pengukuran merupakan kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan empiris dalam rangka memperoleh informasi tentang keadaan atau atribut obyek yang diukur secara sahih (Ebel & Frisbie, 1986; Oriondo, 1998; Griffin & Nix, 1991; Djaali, 2008).

 

Artinya kegiatan TWK ini harus terikat dengan kaidah-kaidah dalam kegiatan pengukuran. Karena dengan mengikuti kaidah yang pakem, maka instrumen yang digunakan dalam kegiatan pengukuran kualitasnya akan baik (valid dan reliabel), sehingga data atau informasi yang diperoleh dari kegiatan pengukuran pun dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dan memang benar sekali, bahwa kualitas kegiatan pengukuran secara umum sangat tergantung pada kualitas butir instrumen (pertanyaan) yang digunakan dalam pengukuran itu sendiri (Djaali, 2008).

 

Berdasarkan bacaan di atas, dengan berpijak pada kaidah pengukuran secara umum, maka penulis menemukan beberapa kelemahan metodologis dari kegiatan TWK pegawai KPK ini sebagai berikut:


Pertama, terindikasi ada beberapa instrumen (pertanyaan) TWK yang diajukan kepada pegawai KPK tidak relevan dengan tujuan TWK dilaksanakan. Pertanyaan tentang alasan seseorang belum menikah, kemudian poligami, jilbab, dan doa qunut (Tempo.co, Rabu, 12 Mei 2021) tentu akan sulit kita anggap sebagai instrumen yang kontributif untuk mengukur komitmen kebangsaan pegawai KPK sebagaimana yang diamanahkan dalam Permenpan RB No. 36/2018 di atas.


Dalam kegiatan pengukuran, pengembangan instrumen merupakan salah satu tahapan yang amat krusial. Pengembangan instrumen harus mengacu pada tujuan dari kegiatan pengukuran itu sendiri. Jika mengacu pada Permenpan RB No. 36/2018, maka ada Sembilan aspek yang akan diukur dalam kegiatan TWK ini. Hal ini dimaksudkan supaya tidak ada butir instrumen yang tidak relevan sehingga berpotensi informasi yang diperoleh dari kegiatan pengukuran tersebut bias. Melihat hal ini, sepertinya pertanyaan dalam TWK tidak dikembangkan menggunakan kaidah pengukuran yang sudah pakem di kalangan evaluator.


Kedua, alat ukur yang digunakan tidak sesuai dengan bentuk kegiatan tes dalam pengukuran. Ada dua bentuk alat ukur yang dikenal dalam kegiatan pengukuran, yaitu tes dan nontes. Jika TWK adalah kegiatan tes wawasan kebangsaan, maka harusnya pertanyaan-pertanyaan yang dikembangkan adalah pertanyaan yang menuntut jawaban benar atau salah, bukan jenis pertanyaan yang menggali opini/persepsi seseorang dan tidak dapat dihakimi benar atau salah. Contoh pertanyaan bentuk tes sebagai berikut: Di provinsi manakah Presiden Soeharto membangun TMII? Jika jawabannya selain Provinsi DKI Jakarta, maka jawaban tersebut salah.


Oleh karena itu, pertanyaan seperti menikah atau poligami misalnya, jawaban dari pertanyaan ini tidak dapat dikategorikan dalam bentuk jawaban benar atau salah. Orang yang menjawab belum menikah dan tidak setuju poligami misalnya, tidak dapat dianggap jawaban tersebut salah atau benar dalam konteks TWK ini. Lain lagi jika TWK namanya diganti dengan NWK (Nontes Wawasan Kebangsaan), maka jenis pertanyaan seperti itu mungkin saja dapat digunakan. Di sini pengembang instrumen dapat penulis anggap tidak konsisten antara nama TWK dengan bentuk alat ukur yang digunakan.


Ketiga, tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap butir instrumen TWK yang ditanyakan kepada pegawai KPK. Jika uji validitas dan reliabilitas butir instrumen dilakukan sebelum instrumen digunakan, maka besar kemungkinan pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan dengan tujuan TWK dapat dideteksi sejak dini dan dapat didrop atau diperbaiki tergantung sekor yang diperoleh saat uji validitas dan reliabilitas dilakukan.

 

Butir instrumen yang memperoleh skor < 0,39 maka direkomendasikan untuk didrop dan diganti dengan butir instrumen baru yang kualitasnya lebih baik. Saya amat yakin, contoh beberapa pertanyaan di atas jika dilakukan uji validitas dan reliabilitas, skor yang diperoleh akan < 1,99. Artinya sangat tidak valid dan tidak reliabel. Uji terhadap kedua hal ini akan menghasilkan butir instrumen yang memiliki kualitas baik, dan berdampak terhadap kualitas pengukuran yang akan dilaksanakan.


Sampai di sini maka kita dapat melihat di bagian mana secara metodologis TWK ini belum sempurna. Bahkan berdasarkan tiga catatan penulis di atas, maka kemungkinan sangat besar informasi yang diperoleh dari kegiatan TWK tersebut sangat bias disebabkan adanya beberapa butir instrumen yang kualitasnya buruk sekali karena sama sekali tidak terkait dengan Sembilan aspek yang diukur dalam TWK sesuai dengan Permenpan RB No. 36/2018. Hal ini patut diduga karena butir instrumen tidak dikembangkan sesuai dengan kaidah kegiatan pengukuran yang sudah pakem.


Dengan demikian, maka apapun hasil dari kegiatan TWK pegawai KPK tidak dapat dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan karena informasi yang dihasilkan tidak valid dan secara metodologis sulit untuk dipertanggungjawabkan secara ilmiah. (*)


Penulis adalah Dosen Evaluasi dan Pengukuran Unusia Jakarta