Nasional

Ijazah Lulusan Pesantren Salafiyah Kini Setara Pendidikan Formal

Jum, 28 September 2018 | 10:45 WIB

Ijazah Lulusan Pesantren Salafiyah Kini Setara Pendidikan Formal

Ditjen Pendis Kemenag, Kamaruddin Amin

Jakarta, NU Online
Lulusan pesantren salafiyah selama ini dianggap hanya mampu mengaji dan mengalami kesulitan untuk kompetisi kerja lantaran tiadanya ijazah formal bagi lulusan pesantren. Padahal tanpa ijazah formal, para jebolan pesantren salaf juga memiliki kapasitas dan keterampilan yang tidak kalah bersaing dengan yang lain.

Untuk itu, Kementerian Agama (Kemenag) sebenarnya telah memberikan kesempatan pada setiap pesantren untuk menyelenggarakan pendidikan diniyah formal dan satuan pendidikan muadalah. Hanya saja, tidak semua pesantren mampu melaksanakannya.

“Ada syarat-syarat khusus yang barangkali masih cukup sulit untuk dipenuhi oleh setiap pesantren. Selain itu juga, masih banyak orang-orang yang memang hanya ingin mengaji kitab kuning di pesantren salafiyah tanpa harus terbebani dengan kewajiban untuk mengikuti pendidikan formal,” terang Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin saat ditemui di kantornya, Jl. Lapangan Banteng No. 3-4, Jakarta Pusat, Jum'at (28/9).

Kamaruddin menjelaskan bahwa pihaknya melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kemenag akan memberikan rekognisi atau pengakuan kesederajatan lulusan pendidikan pesantren salafiyah dengan pendidikan formal. Mekanismenya diatur dalam Keputusan Dirjen Pendis Nomor 4831 Tahun 2018 Tentang Rekognisi Lulusan Pesantren melalui ujian kesetaraan.

Adapun pelaksanaan teknis ujian kesetaraan tersebut, akan dilaksanakan satu kali dalam setahun, bersamaan dengan akhirus-sanah  di pesantren. Para ssantri yang telah menyelesaikan proses pembelajaran di setiap tingkatan/jenjang pendidikan dan memiliki kasyfu al-darajat atau surat keterangan sejenis disilakan untuk mengikuti ujian ini.

“Ujian dilaksanakan secara berjenjang. mulai dari tingkat ula (dasar), wustha (menengah), dan ulya (atas), dan akan diselenggarakan pada satuan-satuan pendidikan keagamaan yang sudah terakreditasi dan telah ditunjuk oleh Ditjen Pendis,” ujarnya.

Kamaruddin menjelaskan, ujian kesetaraan yang digagas dalam rangka rekognisi ini juga memiliki kemanfaatan kompetensial bagi setiap pesantren. Karena berdasarkan Kepdirjen Pendis Nomor 4832 Tahun 2018, pendidikan di pesantren salafiyah memang harus memiliki standar kompetensi tertentu. 

"Ada beberapa kompetensi inti yang setidaknya harus dipenuhi, yaitu kompetensi inti sikap, kompetensi inti pengetahuan, dan kompetensi inti keterampilan," jelasnya.

Selain kompetensi inti, lanjut Kamaruddin, para santri juga diharuskan untuk memiliki kompetensi dasar keagamaan Islam berdasarkan rumpun ilmu keagamaan, yaitu Al-Qu'ran dan ‘Ulumul Qur'an, Hadits dan Ilmu Hadits, Tauhid dan Ilmu Kalam, Tarikh, Fiqh dan Ushul Fiqh, Akhlak dan Ilmu Tasawuf, serta ‘Ulum al-Lughah.

Ia menekankan bahwa ujian kesetaraan dan penetapan kompetensi yang harus dimiliki oleh santri di atas dibuat untuk menjadi acuan penilaian atas perkembangan, kemajuan, dan hasil belajar santri pesantren sebagai satuan pendidikan berbentuk pengajian kitab kuning.

“Dengan demikian, anggapan yang kurang tepat terhadap santri pesantren salafiyah dan terlebih lagi pandangan minor terhadap mereka diharapkan tidak lagi muncul. Masyarakat semestinya memahami bahwa baik pesantren salafiyah maupun lembaga pendidikan formal memiliki kesamaan mendasar, yaitu sebagai lembaga pendidikan untuk semua anak bangsa,” harap Kamaruddin. (Hery Irawan/Muiz)