Nasional

Indonesia Perlu Jalankan Diplomasi Jalur Kedua untuk Afghanistan

Sel, 14 September 2021 | 02:00 WIB

Indonesia Perlu Jalankan Diplomasi Jalur Kedua untuk Afghanistan

Pengamat intelejen, H As'ad Said Ali mengatakan pertemuan antarulama Indonesia dan Afghanistan perlu dilakukan untuk diplomasi.

Jakarta, NU Online
Afghanistan di bawah kepemimpinan Taliban dikhawatirkan banyak pihak. Hal itu mengingat sejarah kelam kepemimpinannya selama lima tahun pada tahun 1996-2001.

 

Pengamat intelejen, H As'ad Said Ali mengatakan Indonesia perlu mengambil langkah diplomasi jalur kedua untuk membagikan pengalamannya dalam bernegara. Dalam hal ini, menurutnya, pertemuan antarulama Indonesia dan Afghanistan perlu dilakukan.

 

"Second track diplomasi (diplomasi jalur kedua) yang penting, ulama dengan ulama itu, people to people. Itu yang penting itu," kata H As'ad Said Ali kepada NU Online pada Senin (13/9/20210).

 

Dengan jalannya hal itu, menurutnya, diplomasi menjadi lebih luas. Diplomasi secara formal, pemerintah (G to G) tinggal menyambung pembicaraan dari jalur kedua tersebut.

 

Pertemuan seperti itu telah berulang kali dilakukan. Tentu, hal tersebut cukup berdampak terhadap arah kebijakan Taliban.

 

Ia menceritakan, dalam sebuah pertemuan, ulama Pakistan menegaskan keharaman bom bunuh diri dengan alasan apapun. Saat mendengar itu, seorang ulama Afghanistan yang duduknya berdekatan bertanya, "Bagaimana pendapatmu (mengenai pandangan ulama Pakistan itu)?"

 

"Bisa benar, bisa salah," jawabnya.

 

Tanggapannya itu cukup mengejutkan ulama Afghanistan tersebut sehingga ia diminta untuk menjelaskannya di sela pertemuan.

 

Lalu, As'ad menjelaskan bahwa keharaman tindakan pengeboman itu bisa dibenarkan jika ditujukan kepada sesama orang Afghanistan, sedangkan jika diarahkan kepada tentara Amerika itu tidak bisa disalahkan.

 

"Kenapa benar? Karena yang dihadapi kan Amerika. Haram, tidak boleh kalau membunuh sesama Afghan sendiri," jelasnya.

 

Ia mencontohkan pengalaman Indonesia ketika kembali didatangi pihak sekutu pada Oktober 1945. Pada peristiwa tersebut, para ulama bersepakat wajib melawan sekutu yang dicetuskan melalui Resolusi Jihad.

 

"Resolusi jihad kan bunuh, kenapa? Karena yang dihadapi Inggris," jelas Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 2010-2015 itu.

 

Lebih lanjut, dalam kesempatan lain, ia menceritakan kepada mereka, bahwa Indonesia terdiri dari beragam suku dengan mayoritas Jawa, tetapi bahasa persatuan yang digunakan bukan bahasa Jawa.

 

Pun mayoritas Islam dari sekian banyak agama dan aliran kepercayaan, tetapi tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Meskipun demikian, kegiatan keagamaan dan syariat Islam tetap bisa dijalankan.

 

Mereka bertanya-tanya, bukan negara Islam tetapi bisa menjalankan syariat Islam. Dalam hal ini, katanya, KH Saifuddin Amsir menjawabnya, bahwa hal itu dimungkinkan dengan sistem kenegaraan yang sudah diatur. Ada Badan Peradilan Agama dalam Mahkamah Agung.

 

Mendengar jawaban itu, ulama Afghanistan mengangkat jempolnya.

 

Menurutnya, Afghanistan mestinya lebih mudah dalam menghadapi perbedaan di dalamnya mengingat suku dan aliran agamanya tidak sebanyak Indonesia.

 

Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan