Nasional

Ini Alasan Pesantren Perlu Memikirkan Tata Kelola Migas

Rab, 26 Februari 2014 | 00:02 WIB

Pengurus Wilayah RMI Jawa Tengah menggelar dialog ulama-umara bertajuk “Mencari Paradigama Baru Tata Kelola Migas di Indonesia”. Kegiatan berlangsung di Surakarta, 23 Februari lalu yang dipimpin langsung oleh Ketua RMI Jateng KH Abdul Ghaffar Rozin atau Gus Rozin, putra KH Sahal Mahfudh.<>

Banyak catatan yang disampaikan dalam dialog itu, terutama terkait persoalan energi yang cukup serius. Produksi minyak bumi mengalami penurunan secara terus menerus sementara permintaan domestik akan energi meningkat secara tajam. Bahkan Indonesia telah berubah statusnya dari negara pengekspor minyak menjadi net oil importer.  Fakta ini cukup membahayakan keamanan energi (energy security) Indonesia, baik itu dalam bentuk penciptaan  ketergantungan bangsa Indonesia terhadap energi yang bersumber dari kekuatan asing maupun pemborosan dana APBN untuk mencukupi kebutuhan subsidi energi nasional.

Salah satu respon yang dilakukan pemerintah untuk menyikapi salah satu permasalahan yang ditimbulkan dari ketergantungan dan pemborosan dana APBN ini misalnya, pada pertengahan 2013 pemerintahan SBY menaikkan harga bahan bakar minyak dengan alasan untuk mengurangi beban subsidi yang ditanggung oleh APBN. Pada awal tahun ini pula, secara mengejutkan Pertamina menaikkan harga gas 12 kg (yang kemudian direvisi angka kenaikannya) dengan alasan yang hampir sama, yaitu menghindari kerugian gas yang dijual oleh Pertamina.

Kebijakan kenaikan harga ini tentu mempunyai alasan yang sah dan dapat diterima secara logis. Namun demikian, bagi rakyat menengah ke bawah, kenaikan harga minyak dan gas selama ini sulit untuk diterima dan menggoyahkan kehidupan ekonomi rakyat. Inilah serentetan alasan mengapa pesantren perlu membincang tata kelola migas. Pihak yang terkait harus mau membuka diri untuk membenahi tata kelola migas dengan baik.

Dialog yang dikemas dalam bentuk seminar ini dibuka dengan keynote speaker dari Wakil Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) DR. IR. Saleh Abdurrahman, MSC. Pembicara lainnya adalah Sampe L. Purba (SKK Migas), Darmawan Prasodjo (RMI NU Jateng) dan Prof. Mahfudz MD (Mantan Ketua MK).

Saleh yang juga Kepala Bidang Pelayanan Data dan Informasi, Pusadatin ESDM mengingatkan beberapa hal yang perlu diperhatikan prinsip-prinsip Pengembangan Industri Migas. Pertama, sebagai sumberdaya alam, cadangan Migas dikuasai negara (Mineral Right). Kedua, hak pengusahaan (Mining right) berada di tangan Pemerintah. Ketiga, industri migas merupakan industri padat modal, teknologi tinggi dan resiko tinggi. Apabila pemerintah menanggung resiko tersebut maka anggaran negara akan tersedot dalam jumlah besar. Sebagai pilihan business right (penambangan) diberikan kepada BUMN, perusahaan dalam negeri dan perusahaan berbadan hukum Indonesia yang berfungsi sebagai kontraktor pemerintah dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS). 

Mahfud MD dalam kesempatan itu menyitir laporan dari Koran Tempo bahwa BPS merilis berita per hari ini jumlah orang miskin 28,5 juta, 2 bulan yang lalu 29 juta. Indonesia disebut sebagai negara sejahtera, mengapa masih ada orang miskin? katanya. Kemiskinan ini dihitung dengan parameter pendapatan dibawah 250rb/bulan. Kemudian, kalau menggunakan standar world bank pendapatannya 2 $/hari maka terdapat 108 juta miskin di Indonesia. 

“Padahal negara kita ini negara kaya. Indonesia ini hebat; kita berada di urutan 16 urutan ekonomi dunia yang nanti pada tahun 2030 akan menjadi kekuatan nomor 7. Maka alam dan seluruh kekayaan sumber daya alam harus ditujukan kepada kepentingan rakyat,” tegas Mahfud MD yang mantan MK ini. 

Mahfud bercerita, pada tanggal 27 Januari lalu dirinya berada di Jepang diundang menteri luar negeri sana dalam kaitannya dengan hubungan diplomatik Jepang-Indonesia. Yasuo Fukuda mantan perdana menteri Jepang ketua persahabatan Indonesia-Jepang menyatakan, pada 2011 ketika negara maju terpuruk, hanya China dan Indonesia (6,5%), negara anda masih tetap bertahan. “Itu hebat negara anda. Mengapa banyak orang miskin sampai 108 juta,” katanya. 

Sementara itu Darmawan menjelaskan dengan konsep tiga kaki bahwa pemangku kebijakan, pengatur regulasi dan pelaku bisnis harus berjalan bersama. Bila tidak, kata Darmawan, akan ciloko (celaka/jw). Darmawan yang juga konsultan migas internasional menyatakan para pengelola migas harus mengaji ke pesantren mengambil nilai-nilai kebaikan untuk menata kembali migas yang ada di Indonesia. 

Darmawan menambahkan bahwa urusan eksplorasi itu bagian mereka insinyur, teknisi, dan penambang. Namun ketika sudah naik ke permukaan,  itu sudah menjadi bagian dari kebijakan. Nah, di sinilah bagian ulama untuk memberikan nasihat dan tata cara bagaimana pengelolaan migas seharusnya menurut ahlus sunnah waljama’ah

Pada saat yang sama, ulama sebagai salah satu pilar masyarakat dan bangsa, nampak belum memainkan perannya dalam mencari solusi bagi permasalahan bangsa, khususnya permasalahan energi dan berbagai permasalahan sosial dan ekonomi yang bermula dari permasalahan energi tersebut. Karena itu, dialog tentang  pencarian paradigma baru tata kelola migas di Indonesia antara ulama dan umara, merupakan usaha terobosan dari Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI, Asosiasi Pesantren Nahdlatul Ulama). Tata kelola minyak dan gas bumi adalah permasalahan serius yang menguasai hajat hidup orang banyak. (Zulfa Mukhamad Kholil/Anam)