Nasional

Inilah Alasan Prawoto Diyakini Sebagai Pusat Kesultanan Demak

NU Online  ·  Ahad, 24 Februari 2019 | 19:45 WIB

Jakarta, NU Online 
Penulis buku Istana Prawoto: Jejak Pusat Kesultanan Demak mengungkapkan Ali Romdhoni beberapa sumber kuat yang menjadi bukti bahwa Prawoto adalah letak pusat kesultanan Demak. Ia mengungkap hal itu pada peluncuran dan diskusi buku tersebut di ruang diskusi Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Lt.9, Jakarta Pusat, Sabtu, (23/2)

Salah satunya, menurut dia, adalah catatan H. J de Graaf, seorang ahli sejarah Jawa yang memahami tumbuh kembang Mataram. Ada beberapa penyebutan yang disinggung oleh de Graaf seperti adanya lawang, atau pintu, atau gapura yang ada di Prawoto, sepetak perkampungan yang disebut Grudo dan ditulis olehnya dengan Garuda, kemudian juga wilayah Brentolo yang ada di Prawoto disebut de Graaf sebagai Bintoro. 

“Justru orang asing yang lebih tau tentang kampung saya, ini  kan ada sesuatu pastinya,” kata laki-laki kelahiran Prawoto, Pati itu. 

Dengan bantuan beberapa peneliti akhirnya ia memulai untuk melakukan kajian tersebut. Di samping terjun ke lapangan secara langsung, ia juga mengandalkan sumber literasi lain seperti Babat Tanah Jawi, Babat Demak, Serat Centini, dan beberapa catatan lain.

Ia juga mengutip dari kitab karangan Kiai Abu Fadhol Senori yang berjudul Ahlal Mustamirrah fi Hikayatil Auliyail ‘Asrah (wali  sepulu), yang mana dalam kitab tersebut menceritakan bahwa Raden Patah mendapat kode untuk melakukan pengembaraan ke barat hingga menemukan alas glagat. 

“Di Prawoto ini juga terdapat alas glagat,” ungkapnya.

Untuk menemukan titiknya Raden Patah harus menemukan pohon yang baunya wangi. Karena alas glagat itu sangat luas, lanjutnya, maka dikisahkan bahwa Raden Patah itu memegangi tiap pohon, atau istilah Jawanya dengan demak-demek yang kemudian menjadi nama sebuah wilayah yang saat ini dikenal dengan Demak. 

Dalam beberapa sumber yang diungkapkan, pusat kesultanan Demak itu berada di dekat pantai dengan dinding yang megah, menjulang dan kokoh.

“Tapi jika dilihat hari ini justru Prawoto berada di pedalaman,” katanya.

Untuk itu perlu menilik Prawoto di masa lalu, bahwa posisi Prawoto pada masa itu berada di bibir pantai yakni selat Muria. Dalam sebuah peta yang tidak teridentifikasi tahunnya, menggambarkan bahwa Prawoto itu disekat oleh dua perairan, sebelah utara selat Muria dan sebelah selatan adalah sungai yang menghubungkan antara bengawan Solo hingga ke Tuntang.

“Demak inilah yang kemudian memiliki dua arus transportasi, dari laut dan sungai,” terangnya. 

Zainul Milal Bizawie juga membenarkan pernyataan tersebut, bahwa Pulau Muria itu dulunya terpisah dari Jawa. selain itu pula ia juga menyatakan bahwa untuk membangun sebuah istana hal yang perlu dipertimbngkan adalah keamanannya. “Prawoto sudah memiliki standar militer bagi suatu kesultanan,” paparnya.

Romdhoni menceritakan, dalam Babat Tanah Jawi (ditulis 1700-an) Prawoto sebagai nama tempat telah menjadi wilayah yang sangat penting dan sudah ada berabad-abad yang lalu sejak masa kesultanan Demak 1478. Para sultan membangun istana di Prawoto dan mengendalikan pemerintahan jumeneng noto kedaton. 

Serat Centini yang ditulis pada tahun 1814, juga membicarakan hal yang sama. Ada satu figur yang melakukan perjalanan spiritual ke arah barat dan ia melihat bekas istana di Prawoto yang dilihat dari ketinggian bukit-bukit di sebelah selatan.

Negarakertagama juga menceritakan bahwa pada masa Majapahit seorang nerpati sudah memerintah di Prawoto yang kemudian meninggalkan jejak-jejak bata merah, putih, dan hitam seperti sewaktu seorang nerpati memerintah di Lasem. 

“Sebelum Demak, Prawoto sudah menjadi hunian yang stabila,” katanya. 

Secara geografis, jika dihubungkan dengan titik-titik penting  antara Muria, Pajang, dan Prawoto maka akan membentuk garis yang unik, di mana antara ketiganya dapat ditarik secara garis lurus. Seperti halnya titik-titik penting antara Lawu, Merapi dan Muria yang menjadi peta kosmologis dibangunnya keraton Jogjakarta, Prawoto juga tak lepas dari perhitungan seperti itu, sebab Keraton Jogjakarta merupakan pewaris Demak yang sama-sama mengikuti konsep tersebut. 

“Nenek moyang kita itu bersahabat dengan alam, mereka tahu titik-titik strategis yang akan melahirkan energi baik,” paparnya. (Nuri Farikhatin/Abdullah Alawi)