Nasional

Jadi Qari Tak Cukup Modal Suara dan Lagu Enak, tapi Harus Hayati Maknanya

Rab, 13 September 2023 | 18:00 WIB

Jadi Qari Tak Cukup Modal Suara dan Lagu Enak, tapi Harus Hayati Maknanya

Qariah Internasional Nyai Hj Maria Ulfa. (Foto: NU Online/Syakir)

Jakarta, NU Online
    
Qariah Internasional Nyai Hj Maria Ulfa menegaskan bahwa menjadi qari-qariah tidak cukup dengan modal suara dan mahir menerapkan lagu. Pelantun ayat-ayat suci Al-Qur’an juga harus memahami isi kandungan ayat tersebut agar lagu yang dibawakan dapat sesuai dengan maknanya.


Hal itu ia sampaikan kepada NU Online saat ditemui di sela-sela kegiatan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Nasional Ke-9 dan MTQ Internasional Ke-3 yang digelar oleh Pimpinan Pusat Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama (PP JQHNU) di Tanah Laut, Kalimantan Selatan, Rabu (6/9/2023).


Dalam hal ini, ia pernah suatu ketika memohon kepada seorang ulama di Mesir untuk menyimak lantunan ayat sucinya. Saat tiba ayat tentang azab yang pedih, ia melantunkannya dengan cengkok.

 

Sang ulama tersebut menegurnya dengan berdecak. Ia mengira saking indah suaranya, ternyata bukan. Lantunannya justru dianggap sang ulama itu salah. Pasalnya, ayat tentang azab harusnya dibawa dengan lagu yang sedih.


Biduni zahrafah (tanpa cengkok),” pinta sang ulama kepadanya, “Ketemu ayat siksa itu sedih kan?” lanjutnya meminta persetujuan.


Oleh karena itu, Nyai Maria Ulfah menegaskan bahwa qari qariah itu seharusnya menghayati makna ayat yang dilantunkannya, bukan sekadar lagunya saja. Irama lagu harus disesuaikan dengan kandungan ayatnya.


“Betul-betul men-tadabburi maknanya. Ketepatan membawakan irama itu penting,” kata pengurus PP JQHNU itu.

 

Dalam kesempatan tersebut, alumnus Pondok Pesantren Tambakberas Jombang, Jawa Timur itu menceritakan sebuah kisah yang didapat dari ulama Mesir itu berkaitan dengan pentingnya penyesuaian lagu dengan makna kandungan ayat yang dilantunkannya.


Suatu ketika, ceritanya, ada seorang qari muda melantunkan ayat tentang neraka Jahannam. Namun, sang qari itu melantunkannya dengan cengkok. Ummi Kultsum, Diva Mesir yang berjuluk Bintang dari Timur, itu langsung berdiri dan menegur qari tersebut.


“Indah sekali ya neraka ya,” kata Ummi Kultsum dengan penuh satir kepada qari tersebut.


Oleh karena itu, peraih qariah terbaik tahun 1980-an itu menegaskan bahwa qari qariah harus menghayati lantunan ayat Al-Qur’an itu bukan saja pada iramanya, tetapi juga penyerasian dengan kandungan maknanya.


Ia menganalogikan pelantunan ayat suci Al-Qur’an ini dengan deklamasi. Nada dan mimik wajah juga harus tampil sesuai dengan isi ayat tersebut.

 

Jika ayat tentang kegembiraan, tentu qari qariah juga harus menampilkan wajah dan nada yang bahagia. Sebaliknya, jika ayat yang dilantunkan tentang kesedihan, sudah sepatutnya qari qariah juga menunjukkan wajah yang sedih dan nelangsa.


Senada, Rais Majelis Ilmi PP JQHNU juga menyampaikan bahwa kesesuaian lagu dengan makna kandungan Al-Qur’an dapat memberikan pengaruh terhadap penyimak. 


“Kalau ceritanya itu menyedihkan ya lagu yang sedih. Kalau ayatnya tentang kesenangan bagaimana nada kesenangan. Jadi akan memengaruhi pula bagi orang mengerti,” katanya.


Saat itu, ia pun mencontohkan secara langsung dengan melantunkan Al-Qur’an surat Yusuf ayat 23. Ayat tersebut berkisah tentang dialog seorang perempuan yang menggoda Nabi Yusuf.


“…Haita lak… Kemarilah!” katanya dengan nada naik seakan-akan mengundang orang untuk mendekat.


“Kalau seandainya dilagukan, jadi dialog dengan menggunakan lagu-lagu, jadi bisa hidup. ,” lanjut Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Qur’an Kebon Baru, Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat itu.


“Lagu itu bisa memengaruhi jalannya cerita itu,” pungkasnya.