Nasional

Jaga Eksistensi, Pesantren Harus Terus Beradaptasi dengan Kemajuan Teknologi

Rab, 20 Oktober 2021 | 09:30 WIB

Jaga Eksistensi, Pesantren Harus Terus Beradaptasi dengan Kemajuan Teknologi

Jaga Eksistensi, Pesantren Harus Terus Beradaptasi dengan Kemajuan Teknologi. (Foto: BPMI Setwapres)

Jakarta, NU Online
Wakil Presiden Republik Indonesia (Wapres RI) KH Ma’ruf Amin mengingatkan, kemajuan teknologi atau revolusi industri 4.0 saat ini menjadi tantangan tersendiri bagi warga pesantren. Menurutnya, jika pesantren ingin menjaga eksistensi di era sekarang, maka harus mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi.
 
Ia mendorong pesantren agar mampu mengakomodasi kemajuan teknologi sekaligus memanfaatkannya untuk kemaslahatan umat. Sebab para santri yang saat ini tengah menempuh pendidikan di pesantren merupakan generasi Z. Bahkan beberapa tahun ke depan, akan muncul generasi alfa di pondok pesantren. 
 
“Para generasi Z dan alfa terlahir di dunia yang serba digital. Jika pesantren tidak dapat beradaptasi dan bertransformasi sejalan dengan perubahan zaman, maka eksistensi pesantren pun akan terancam dan lulusannya pun akan asing di zamannya,” tegas Wapres dalam Webinar Internasional Hari Santri yang digelar Rabithah Ma’ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), pada Rabu (20/10/2021).
 
Tentu saja, kondisi itu menuntut para santri dan pesantren untuk terus meningkatkan kualitas. Baik dari segi formal, ataupun nonformal, kreativitas, inovasi, kompetitif, seraya menunjukkan akhlak muliah. Dengan begitu, santri dapat disebut sebagai sumber daya manusia (SDM) unggul melalui keterampilan yang dimiliki.
 
“Santri dapat meningkatkan peranannya dalam menciptakan berbagai inovasi dan mampu bersaing secara global,” ujarnya. 
 
Kiai Ma’ruf menyebutkan bahwa para santri dari kalangan Nahdliyin telah memiliki paradigma tersendiri dalam menjawab perubahan zaman. Hal itu sebagaimana kaidah yang berbunyi, al-muhadzatu ala qadimisshalih wal akhdzu bil jadidil ashlah. Artinya, senantiasa menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. 
 
“Untuk melengkapi paradigma itu, saya tambahkan al-ishlah ilaa maa huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah. Artinya, melakukan perubahan ke arah yang lebih baik secara terus menerus dan berkelanjutan,” tutur Kiai Ma’ruf. 
 
Ia berharap dalam gelaran Webinar Internasional yang digelar RMI PBNU itu, para narasumber dan peserta dapat saling berbagi ide dan informasi, mengeratkan persaudaraan, memperluas jaringan, serta cakrawala berpikir pesantren. 
 
“(Tujuannya) agar pesantren dapat semakin luwes menghadapi perubahan zaman dan mampu tampil sebagai pemimpin masa depan yang berwawasan kebangsaan,” harap Kiai Ma’ruf. 
 
Momentum semangat kebangsaan
Menurut Kiai Ma’ruf, peringatan Hari Santri yang jatuh pada 22 Oktober 2021 ini merupakan momentum bagi para santri, ulama, dan pemimpin bangsa untuk kembali memupuk semangat nasional, semangat kebangsaan, serta semangat cinta tanah air. Sebagaimana yang telah dilakukan para pendahulu bangsa. 
 
“Dengan memupuk semangat kebangsaan dan cinta tanah air atau hubbul wathan, berarti akan menumbuhkan semangat persatuan dan meminimalisasi terjadinya eksklusivisme, intoleransi, dan radikalisme di Indonesia,” katanya.
 
Sikap seperti itu, lanjutnya, harus dibarengi dengan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai saling menghargai, membantu, menjaga, dan menguatkan solidaritas sosial serta tali persaudaraan antar anak bangsa.
 
“Kesungguhan dalam membangun bangsa seperti ini harus ditunjukkan dan dibutkikan oleh semua komponen bangsa, tidak hanya oleh para pemimpin bangsa, tapi juga pada setiap diri anak bangsa, khususnya para santri pondok pesantren,” katanya. 
 
Kemerdekaan Indonesia yang diraih sejak 76 tahun lalu, tidak terlepas dari peran pesantren. Para ulama dan santri pada masa perjuangan telah membangun jaringan di tingkat lokal maupun internasional.
 
“Salah satunya adalah perjuangan para santri dan ulama sejak awal abad ke-19 untuk melawan penjajah, yang oleh ahli sejarah mendiang Profesor Sartono Kartodiredjo disebut sebagai religious revival atau kebangkitan agama,” katanya.
 
Namun menurut Kiai Ma’ruf, hal itu lebih tepat disebut sebagai kebangkitan santri dan ulama. Sebab merekalah yang menjadi pelaku perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kebangkitan ini kemudian turut menginspirasi lahirnya kebangkitan nasional. 
 
Selanjutnya, para santri pun ikut berperan dalam mempertahankan kedaulatan NKRI dari penjajah yakni tentara NICA yang datang kembali, pasca-kemerdekaan Indonesia yang baru diproklamasikan dua bulan, sejak 17 Agustus 1945.
 
Saat itu, Pendiri NU Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad yang kemudian ditindaklanjuti oleh PBNU dengan menerbitkan resolusi jihad, pada 22 Oktober 1945 di Surabaya. 
 
“Isinya, melawan penjaajah hukumnya fardhu ain. Resolusi jihad ini kemudian menginspirasi para ulama dan santri untuk ikut bertempur mengusir tentara NICA ehingga terjadi pertempuran 10 November di Surabaya dan akhirnya bisa mengusir tentara NICA. Oleh karena itu, tanggal 22 Oktober pemerintah menetapkan sebagai Hari Santri,” jelasnya.
 
Setelah kemerdekaan, imbuh Kiai Ma’ruf, pesantren di Indonesia lalu tumbuh dan berkembang secara pesat. Kini, di Indonesia telah terdapat lebih dari 34 ribu pesantren. Berbagai perubahan pun menuntut pesantren untuk melakukan banyak penyesuaian. 
 
“Perubahan pola kehidupan sosial masyarakat seperti adanya reformasi pendidikan dan terjadinya era disrupsi, menuntut pesantren untuk terus melakukan penyesuaian serta perubahan dengan tetap menjaga citra eksistensinya,” pungkasnya.
 
Pewarta: Aru Lego Triono 
Editor: Syamsul Arifin