Nasional

Jangan Memberatkan, Ketua PBNU: Jamuan Tahlil Cukup Air Putih dan Kue Seadanya

Rab, 21 Desember 2022 | 12:45 WIB

Jangan Memberatkan, Ketua PBNU: Jamuan Tahlil Cukup Air Putih dan Kue Seadanya

Ketua PBNU, KH Ahmad Fahrur Rozi atau Gus Fahrur. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Baru-baru ini viral cuitan akun netizen di twitter yang menyatakan keberatannya tentang tradisi peringatan kematian selama 7 hari, kemudian peringatan 40 hari, 100 hari, dan seterusnya. Akun tersebut mengungkapkan kondisi temannya yang terpaksa harus ngutang untuk memenuhi kebutuhan jamuan tahlil.

 

Akun tersebut secara jelas meminta petinggi Nahdlatul Ulama untuk menjelaskan kepada Nahdliyin mengenai kewajiban tahlilan dan berbagai pernak-perniknya seperti memberi makan kepada handai taulan yang bertakziah. 


Dalam hal ini, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Keagamaan KH Ahmad Fahrur Rozi atau akrab disapa Gus Fahrur menanggapi cuitan tersebut. Ia menegaskan bahwa tahlilan bisa tetap dijalankan cukup dengan sajian air putih dan kue seadanya. Tidak perlu memberatkan shohibul mushibah yang kondisi ekonominya tidak mampu.


“Tidak ada kewajiban yang memberatkan. Tahlilan itu tradisi yang dilakukan secara sukarela dan malah membuat keluarga almarhum sangat terhibur dengan banyaknya handai taulan yang datang agar mereka tidak sedih dalam kesendirian. Jika memang keluarga kurang mampu, tahlilan juga tidak (perlu) memberi makanan, cukup air dan kue saja seadanya,” ucap Gus Fahrur kepada NU Online, Rabu (21/12/2022). 


Bahkan di beberapa tempat, ada tradisi gotong-royong untuk membantu keluarga duka sehingga tidak memberatkan. Para tetangga di sekitar, biasanya akan berdatangan dengan membawa berbagai macam bahan makanan untuk dimasak. 


“Sebenarnya tidak ada kewajiban harus memberi makanan. Itu tradisi gotong-royong masyarakat, yang takziah biasanya membawa bahan makanan untuk dimakan bersama,” tutur Gus Fahrur. 


“Kalau di desa saya selalu pentakziah bawa segala macam bahan makanan. Yang memasak juga (warga) rumah sebelah, (tujuannya) agar keluarga (duka) tidak repot,” tutur Pengasuh Pesantren Annur 1 Bululawang, Malang, Jawa Timur itu.


Tradisi lain yang berkembang di masyarakat adalah menggelar tahlilan dengan menyembelih seekor sapi dan diniatkan sebagai sedekah untuk almarhum. Hal ini tidak menjadi masalah apabila diniatkan sebagai penghormatan antara anak kepada orang tuanya. 


“Jika keluarga mampu memang kadang menyembelih sapi berniat sedekah untuk mayit dan mendoakannya. Itu tidak ada masalah, sebagai tanda bakti dan terimakasih anak kepada orang tuanya. Asalkan tidak memakai harta anak yatim,” tegas Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat itu. 


Ia juga menegaskan bahwa tidak ada dalil yang mewajibkan tahlilan. Gus Fahrur menekankan, tahlilan merupakan tradisi masyarakat yang baik sebagai upaya untuk menjaga silaturahim dan saling menguatkan. 


“(Tahlilan bertujuan) agar keluarga yang ditinggalkan terhibur dan senang dapat mendoakan almarhum. Semuanya juga sudah paham. (Orang) yang menanggapi sinis karena hanya melihat dari jauh saja. Sebenarnya tidak ada yang mewajibkan dan dilakukan secara sukarela. Tujuan berdoa dan sedekah jelas baik, dan berpahala,” ucap Gus Fahrur. 

 

Jangan termakan gengsi

Ia berharap, masyarakat tak perlu termakan gengsi untuk mengadakan peringatan tahlilan dengan mewah atau bahkan berlebihan. Padahal maksud dari tahlilan adalah berdoa bersama dan menghibur keluarga almarhum. 


“(Soal gengsi) itu perlu diluruskan, agar mereka dapat melakukan secara sederhana dan semampunya. Tradisi khitan dan resepsi pernikahan juga kadang berlebihan. Bahkan menggadaikan sawah. Makanya itu perlu edukasi agar (diselenggarakan) lebih sederhana,” pungkas Gus Fahrur.


Sebelumnya, viral cuitan seorang netizen @salima252lagi di twitter. Berikut kutipan cuitan yang secara terang-terangan menyindir petinggi NU untuk mau menjelaskan soal tradisi tahlilan di masyarakat yang dinilai memberatkan warga kurang mampu.


“Petinggi NU harusnya sadar & mau menjelaskan kepada umatnya/jemaahnya bahwa tradisi seolah mewajibkan perayaan kematian keluarga di hari ke 7—14-40-100 itu ga wajib bahkan ga ada tuntunannya. Dan hanya memberatkan jelata saja. Faktany org miskin di Indonesia ini banyak dr NU,” begitu cuitan yang viral di twitter. 


“Ga miris kah melihat warga miskin atau menengah ke bwh yg makan saja susah ketika kemalangan malah masih direpotkan memikirkan makan org lain,” tambah akun tersebut.


Tuntunan Tahlilan

Dalam artikel di NU Online yang berjudul Hukum Tahlilan Menurut Mazhab Empat dijelaskan bahwa inti tahlilan ada tiga. 


Pertama, menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit. Kedua, mengkhususkan bacaan itu pada waktu-waktu tertentu, yaitu tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, dan sebagainya. Ketiga, bersedekah untuk mayit, berupa pemberian makanan untuk peserta tahlilan.


Dijelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit.


Ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menegaskan bahwa menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an serta kalimat thayyibah kepada mayit hukumnya boleh, dan pahalanya sampai kepada sang mayit.


Namun sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menyatakan, pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah tidak sampai kepada mayit, karenanya hal itu tidak diperbolehkan.


Kemudian dijelaskan bahwa mayoritas ulama membolehkan pengkhususan waktu tertentu untuk beribadah atau membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah, seperti malam Jumat atau setelah melaksanakan shalat lima waktu. Lalu para ulama sepakat bahwa bersedekah untuk mayit hukumnya boleh, dan pahala sedekah sampai kepadanya. 


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad