Nasional

Jelang 2021, PBNU: Bangun Narasi Positif di Media Sosial

Rab, 30 Desember 2020 | 11:00 WIB

Jelang 2021, PBNU: Bangun Narasi Positif di Media Sosial

Tentang paham konservatisme beragama yang mendominasi di linimasa media sosial, platform twitter. Dalam melakukan penelitian, PPIM membuat definisi dari beberapa paham keagamaan yang mengemuka di medsos.

Jakarta, NU Online

Menutup tahun 2020 dan menjelang 2021, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan butir-butir refleksi dan taushiyah kebangsaan dengan menyoroti beberapa hal. Salah satunya soal pentingnya membangun narasi positif berupa konten kreatif di media sosial. Hal itu merupakan ikhtiar guna mengatasi berbagai konten negatif. 


“Perlu adanya upaya yang lebih ekstensif dan intensif dalam membangun narasi-narasi positif dalam wujud konten yang kreatif. Sehingga penyebaran berita bohong, fitnah, polarisasi, radikalisme, yang selama ini teresonansi gerakannya melalui medsos dapat diatasi dengan baik,” ungkap Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, saat membacakan butir-butir refleksi dan taushiyah kebangsaan menjelang tahun baru 2021, pada Selasa (29/12) kemarin.


Dalam menyampaikan butir-butir refleksi itu, Kiai Said menegaskan bahwa kebebasan yang menjadi watak dari demokrasi kini sudah memberikan panggung kepada kelompok radikal untuk mengekspresikan pikiran dan gerakannya. Hal itu berpotensi merongrong NKRI melalui provokasi, permusuhan, dan juga terorisme.


Pada momentum revolusi 4.0 ini, iklim demokrasi salah satunya bertumpu pada digitalisasi. Ekspresi demokrasi dan politik diungkapkan melalui kanal-kanal media sosial. Dunia maya berkembang sangat pesat. Termasuk dalam konteks penyebaran isu politik, sosial-keagamaan, dan isu-isu lainnya.


Pernyataan PBNU tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang telah dirilis oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, pada 16 November 2020 lalu. Penelitian tersebut didapati bahwa terdapat temuan baru mengenai tren beragama di media sosial.


Salah satu temuannya adalah tentang paham konservatisme beragama yang mendominasi di linimasa media sosial, platform twitter. Dalam melakukan penelitian, PPIM membuat definisi dari beberapa paham keagamaan yang mengemuka di medsos. 


Pertama, liberal. Sebuah aliran atau paham keagamaan yang berusaha melampaui batas-batas akal, tradisi, norma, dan nilai yang disepakati komunitas muslim. Kedua, moderat adalah aliran atau paham keagamaan yang mengedepankan keseimbangan akal dan wahyu serta keseimbangan keragaman antarkelompok sebagai prinsip dasar untuk menjaga kemaslahatan bersama.


Kemudian yang ketiga adalah konservatif. Suatu aliran keagamaan yang menjadikan tradisi Islam awal (nabi dan sahabat) sebagai acuan yang harus diduplikasi secara literal. Keempat, Islamis merupakan keagamaan konservatif yang mengedepankan Islam sebagai sistem politik untuk mewujudkan negara agama.


Paham atau aliran yang terakhir adalah radikal atau ekstremis. Sebuah pemahaman keagamaan yang menjadikan serta menyetujui kekerasan sebagai alat untuk mewujudkan negara Islam. 


Dari hasil analisis yang dilakukan dalam rentang waktu 2009-2019 itu, PPIM menemukan bahwa narasi yang cenderung berpemahaman konservatif di twitter sangat mendominasi, yakni sebanyak 67,2 persen. Sedangkan paham keagamaan moderat adalah 22,2 persen, liberal 6,1 persen, dan islamis hanya berkisar 4,5 persen.


Menurut PPIM, narasi konservatisme di twitter sendiri terdapat tiga topik utama. Pertama, topik perempuan serta hubungan Islam dengan negara dan kelompok lain. Kemudian ada pula narasi tentang soal perempuan, surga, aurat, politik, pemimpin, dan menolak sekularisme, pluralisme, liberalisme.


Lalu narasi kedua yang dimainkan kelompok konservatif di twitter adalah topik mengenai amalan buruk. Di antaranya soal kafir, dosa, syirik, musyrik, dan munafik. Sedangkan yang ketiga adalah topik terkait amalan baik yang beberapa di antaranya adalah tentang surga, shalat, taat, pahala, puasa, akhirat, ukhuwah, dan Islamiyah.


Secara umum, PPIM melihat bahwa narasi yang dimainkan paham keagamaan konservatif ini cukup netral, sama sekali tidak menyentuh aspek politik. Tapi di sisi lain juga ada narasi yang menyinggung politik.

Di samping itu, adu gagasan atau kontestasi keagamaan di medsos tersebar serta terkonsentrasi di Pulau Jawa. Perseteruan wacana keagamaan antarpaham yang berbeda, lebih terfokus di Jakarta karena merupakan pusat pemerintahan. Ditambah karena ada efek dari Pilgub DKI dan Pilpres. 


Oleh karena itu, PBNU mengingatkan semua pihak agar kembali kepada jati diri bangsa. Di antaranya menghargai kemajemukan, pluralitas dan heterogenitas yang dirumuskan dalam konsensus agung bernama Pancasila yang dibangun di atas bingkai Bhinneka Tunggal Ika.


Lebih lanjut, PBNU memandang bahwa perbedaan harus menjadi energi untuk memproduksi kekuatan kolektif sebagai sebuah bangsa. Bukan justru dijadikan sebagai benih untuk menumbuhkan perpecahan.


“Kebinekaan harus menjadi kekuatan bangsa. Kebinekaan tidak boleh menjadi anasir destruktif yang berkontribusi bagi rusaknya persatuan dan kesatuan bangsa,” lanjutnya.


Di samping itu, PBNU juga mengingatkan bahwa demokrasi sebagai sistem untuk mewujudkan kesejahteraan publik berpotensi dibajak oleh gerakan fundamentalisme agama dan ideologi maupun fundamentalisme pasar.


Kiai Said menegaskan, kebebasan sebagai watak bagian demokrasi sudah memberikan panggung kepada kelompok radikal untuk mengeskpresikan pikiran dan gerakannya. Hal itu berpotensi merongrong NKRI melalui provokasi, permusuhan, dan juga terorisme.


Sebagai negeri demokrasi dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, bangsa Indonesia harus terus bersatu di tengah konstelasi dunia yang semakin dinamis. Caranya dengan terus berupaya mengencangkan tiga ikatan tali persaudaraan.


Ketiga itu adalah persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan sesama warga bangsa (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan terhadap seluruh warga dunia sebagai sesama manusia (ukhuwah insaniyah). 


Dengan demikian, Kiai Said menegaskan bahwa PBNU  akan selalu mengingatkan seluruh elemen bangsa untuk secara terus-menerus merefleksikan berbagai kesepakatan dasar bangsa Indonesia. Di antaranya Pancasila, Bhinneka Tunggal  Ika, NKRI, dan UUD 1945.


“Karena itu, segala upaya mengisi pembangunan harus dilandasi dan dijiwai, serta guna memperkuat konsensus nasional,” pungkas Kiai Said saat membacakan refleksi dan taushiyah kebangsaan yang ditandatangani oleh dirinya bersama Sekretaris Jenderal PBNU H Ahmad Helmy Faishal Zaini.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad