Nasional

Jelang Debat Keempat Pilpres, Akademisi Singgung Dampak Buruk Pertambangan dan Wacanakan Energi Terbarukan

Sel, 16 Januari 2024 | 18:30 WIB

Jelang Debat Keempat Pilpres, Akademisi Singgung Dampak Buruk Pertambangan dan Wacanakan Energi Terbarukan

Ilustrasi aktivitas pertambangan. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Para calon wakil presiden (cawapres) akan menjalani debat putaran keempat pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) pada 21 Januari 2024 mendatang. Abdul Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka, dan Moh Mahfud MD akan berdebat dengan tema Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, serta Masyarakat Adat dan Desa.


Akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Isna Rahmawati menyinggung soal pemakaian hasil tambang minyak bumi, gas, dan nikel untuk menjadi energi harian yang dipakai oleh masyarakat sehari-hari.


Isna melihat, pemakaian energi dari hasil tambang tersebut dapat memberikan dampak buruk yang merusak lingkungan, memperparah krisis iklim, memunculkan konflik sosial, perampasan ruang hidup dan melipatgandakan bencana ekologis. 


"Untuk mengisi gap yang timbul dari kebutuhan energi masyarakat yang makin meningkat, sementara sektor tambang menimbulkan dampak kerusakan lingkungan, maka diperlukan transisi energi baru terbarukan," kata Isna kepada NU Online di Jakarta, Selasa (16/1/2023).


Lulusan Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Diponegoro (Undip) itu menjelaskan bahwa Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang besar, tetapi pemanfaatan untuk menjadi energi sehari-hari belum maksimal. Dengan begitu, Isna berharap debat keempat pilpres mendatang, para cawapres mampu menyampaikan komitmen melakukan transisi energi dan pemerataan aksesnya.


"Langkah awal dapat ditempuh dengan melakukan peralihan pembangkit listrik dari yang semula menggunakan energi fosil menjadi pembangkit listrik tenaga surya ataupun tenaga angin yang memiliki potensi besar di Indonesia," tegas Dosen Ilmu Lingkungan UIN Jakarta ini. 


Selain itu, Isna menginginkan agar pemerataan akses energi perlu dilakukan mengingat wilayah Indonesia yang luas dan berpulau-pulau. Akses tersebut harus menjadi upaya bersama melalui berbagai sektor pemerintahan, dari pusat sampai daerah-daerah.


"Pemanfaatan energi terbarukan dengan memperhatikan potensi lokal juga perlu didorong guna mempercepat penerapan transisi energi," jelasnya.


Dampak buruk pertambangan

Berdasarkan laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), terdapat berbagai dampak buruk bagi lingkungan yang muncul akibat aktivitas pertambangan dan pasca tambang. Dampak paling dekat yaitu terjadi perubahan signifikan dalam bentang alam ketika teknik open pit diterapkan dalam aktivitas tambang. Bukit-bukit dapat berubah menjadi dataran atau bahkan kubangan, dan dampaknya terasa pada aliran sungai yang dapat terputus bahkan mengering.


Dampak lebih lanjut dirasakan di sektor pertanian, di mana lahan pertanian mengalami kekeringan akibat perusahaan tambang yang menguasai sumber air. Pengaruh debu dari aktivitas pertambangan turut menyulitkan situasi di lahan pertanian tersebut.


Kemudian meningkatnya erosi menjadi masalah serius karena berkurangnya area resapan air. Dampak berikutnya adalah pencemaran pada aliran sungai yang disebabkan oleh sedimen dan limbah beracun yang dihasilkan selama proses pertambangan.


Terkait struktur tanah menjadi semakin labil, dapat meningkatkan risiko terjadinya longsor. Selain itu, berkurangnya area resapan air juga memicu risiko banjir, terutama pada musim hujan. Pada tingkat ekologi, terjadi penurunan populasi dan kerusakan habitat satwa endemik akibat rusaknya ekosistem kawasan dan degradasi hutan.


Pencemaran oleh limbah beracun juga sangat tinggi di titik lokasi pembuangan tailing untuk pertambangan mineral sedangkan untuk pertambangan batubara pada proses distribusi dan sangat rentan mencemari sungai, muara sungai dan laut.


Lalu, setelah perusahaan tambang selesai beroperasi, terbentuklah lahan kritis yang tidak dapat ditanami kembali sebagai hasil dari dampak negatif yang terjadi selama periode operasional.