Nasional SOSOK

Jihad Santri NU Tuntut Ilmu di Negeri Sakura

Kam, 30 Maret 2017 | 00:33 WIB

Jihad Santri NU Tuntut Ilmu di Negeri Sakura

Medina (ketiga dari kiri).

Medina Janneta El Rahman (17) sungguh tak mengira bakal lanjut kuliah di Jepang. Sebelum dinyatakan lolos seleksi mahasiswa baru di Hokkaido University, ia masih harap-harap cemas. Pasalnya, pengumuman di website kampus tersebut sempat tertunda. Sementara, ia tak mudah mengaksesnya lantaran kebijakan pesantren tempat ia belajar membatasi para santri dari pergaulan dunia maya.

Bagaimana kisah petualangan santri putri ini hingga ke Negeri Sakura? Siswi kelas 3 Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia (MAN IC) Serpong, Tangerang Selatan, ini awalnya ingin melanjutkan kuliah di kampus dalam negeri. Namun, saat ia bersama kontingen Indonesia berkesempatan mengikuti Program Pertukaran Pelajar Sains di Shizuoka, Jepang awal tahun 2016, membuatnya berubah pikiran. Ada ketertarikan untuk melanjutkan studi di negara itu. Apa yang terbersit dalam hatinya hingga tertarik dengan Jepang?

Putri Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag Abdurrahman Mas’ud ini menceritakan pengalamannya selama sembilan hari di Negeri Matahari Terbit. Selain mengunjungi Iwata Minami High School of Science, salah satu SMA di Shizuoka, juga ia manfaatkan untuk menyelami tradisi dan kearifan lokal setempat. Sebagai titisan Nahdliyin tulen, wajar jika Medina memiliki jiwa aktivis yang cenderung kepada tradisi dan kearifan lokal.

Darah aktivis NU mengalir deras dalam diri Medina. Sang ayah, yang berlatar keluarga Pesantren Qudsiyyah Kudus pernah menjabat Ketua Umum PC PMII Ciputat saat kuliah S1 di IAIN Jakarta. Pada 1985-1988, ayahnya aktif sebagai wartawan tabloid Warta NU era Gus Dur dan Lakpesdam NU.

Saat aktif sebagai peneliti Lakpesdam, ayahnya pernah dikirim Abdullah Syarwani selaku direktur ke Filipina Selatan selama 60 hari dalam rangka lokakarya pengembangan masyarakat. Sementara sang ibu, Hj Ella Nurlaila, dibesarkan di lingkungan Pesantren Al-Masthuriyah Sukabumi.

Pertukaran pelajar

Awal mulanya pada Februari 2016. Medina bersama tim ke Shizuoka ikut kegiatan Sakura Student Exchange Program in Science yang disponspori Japanese Science and Technology (JST). “Semacam LIPI-nya Jepang gitu,” kata Medina saat berbincang dengan NU Online di rumah dinas orang tuanya, komplek MAN 4 Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Ahad (26/3).

Ia terkesan sekali dengan pendidikan di negara ini. “Saya sebenarnya ingin kuliah di Fakultas Kedokteran UI, UGM atau UNPAD. Tapi setelah berkunjung ke Jepang, saya pikir-pikir bagus juga belajar di sana. Karena bisa fokus. Kalau kehidupan di sini beda. Aku ngerasa remaja di Indonesia kok banyak main-mainnya gitu,” ujar Medina.

Menurut dia, di Jepang bisa memilih untuk tidak demikian. Pasalnya, hampir semua orang asing yang datang ke negeri itu niatnya fokus belajar. “Jadi, mereka maklum kalau kami tidak ikut party atau main-main. Apalagi kalau tau kita muslim. Sedangkan di Indonesia kan beda. Kalau kita tidak ikut main akan dikucilkan gitu,” ungkapnya.

Dengan lingkungan dan suasana belajar yang asyik ditambah padatnya kegiatan dan beban pelajaran yang ketat, Medina berharap bisa fokus menyelesaikan tugas belajar dalam waktu singkat. Dari yang seharusnya enam tahun, harus diselesaikan setahun lebih cepat, yakni lima tahun.

“Jadi, enggak terbuang sia-sia waktunya. Memang capek ya. Tapi itu sudah biasa kami lakukan di MAN IC. Sebelumnya saat di MTs belajarnya tidak sekeras itu. Semoga Allah kasih jalan dan kekuatan,” ujar Medina sembari tersenyum.

Ada peristiwa lucu saat ia berkunjung di SMA Iwata Minami ini. Medina mampu membuat siswa-siswi sekolah tersebut tertawa riang lantaran kemampuannya berbicara dalam Bahasa Jepang. “Waktu itu dibuat beberapa kelompok, lagi bikin origami gitu. Karena saya aktif nanya pakai Bahasa Jepang, tau sendiri kan orang Jepang kalau lihat orang asing bisa bahasa mereka, pasti langsung heboh. Jadinya mereka respek dan merasa dekat gitu,” tuturnya.

Bagi dia, menyapa remaja Jepang dengan bahasa mereka merupakan strategi mengambil hati teman-teman barunya itu. “Nah, pas teman saya ngeluarin josei atau kamus elektronik, kan bentuknya mirip nintendo, game. Anuwa nintendo deska, saya tanya gitu. Mereka pun bilang, jane jane. Bukan bukan. Rame jadinya. Mereka lalu tanya, tau dari mana gitu. Saya bilang, ya tau lah,” tutur Medina seraya tertawa riang.

Saat ditanya siapa yang memberi tahu informasi belajar di Jepang, ia menyebut Guru BK di MAN IC, Rini Kristiani. “Bu Rini itu sangat go international. Beliau beberapa kali ke Jepang dan Singapura. Dari sana, beliau memberi presentasi kepada teman-teman kelas 3 tentang informasi pendidikan di luar negeri. Dua putra beliau juga belajar di Jepang. Satu di Kyoto University, satunya lagi di Asia Pasific University,” paparnya.

Menurut info yang diterima guru Medina, empat orang siswa dari Indonesia diterima. Di website kampus tersebut ada 16 orang asing yang diterima. Padahal bangkunya 20 kursi. Sisanya untuk orang Jepang sendiri. “Nah, untuk MAN IC sejauh ini baru dua orang. Saya salah satunya. Untuk yang di Hokkaido dan pertama kalinya, saya,” ujar aktivis Paskribaka ini.

Cinta lingkungan dan kearifan lokal

Bagi Medina, di Jepang selain bisa fokus belajar tentu ada hal menarik lainnya. Ia mengaku terkesan kepada budaya masyarakat Jepang. Kearifan lokalnya mirip di Indonesia, khususnya Jawa. Misalnya, adat sopan santun, kebersamaan dan suka berterima kasih.

“Apalagi saya punya darah Jawa. Jadi, merasakan betul kebaikan mereka. Tentu berbeda ya dengan Eropa yang lebih global, jadi kesannya kurang punya budaya nggak ada kearifan lokalnya,” papar cucu salah satu Pendiri Madrasah Qudsiyyah Kudus ini.

Ia terkesan saat berkunjung ke salah satu warga. “Saya dibuatin teh pahit. Katanya bagus buat kesehatan. Meski pahit, karena nggak dikasih gula, tapi terus saya minum. Tehnya aneh kayak ada serabutnya gitu,” ujarnya seraya tertawa.

Lulusan terbaik MTsN 7 Jakarta dengan NEM 38,00 ini mengaku telah mengenal Jepang sejak usia SMP. Ia rajin membaca komik animasi dan film kartun Negeri Sakura tersebut. Tak heran jika ia semakin mencintai Jepang kala dirinya menjejakkan kaki di bumi para kaisar ini.

Medina tentu bukan satu-satunya pelajar Indonesia yang akan belajar di Jepang. Selain dia, dari madrasah kebanggaan Kemenag ini sudah ada beberapa siswa di sana. “Di Tohoku ada 3 orang. Di kyoto 2 orang. Tapi semuanya S1. Nah, aku yang pertama dapat kesempatan untuk S1 hingga S2,” ungkapnya.

Hal lain yang membuatnya merasa nyaman adalah testimoni para kakak kelasnya tentang negeri samurai itu. “Intinya, dibanding negara lain Jepang cukup aman dalam artian tidak ada dampak buruk bagi mahasiswa. Banyak yang setelah pulang ke Indonesia mereka kembali lagi lanjut S2 hingga menikah dan berkeluarga di sana. Tidak beresiko gitu,” tandasnya mantap. 

Setahun sebelum ke Jepang, salah satu siswi penerima beasiswa di MAN Insan Cendekia Serpong ini juga pernah terlibat dalam perkemahan di Singapura dalam program SISLAC (Singapore-Indonesia Student Leadership Camp). “Alhamdulillah, Singapura menjadi negara pertama saya ikut Student Exchange,” ujarnya.

Segudang prestasi

Di MAN IC, Medina termasuk salah satu penerima beasiswa. Ia lolos bersama 120 siswa lainnya yang terpilih dari 5321 pendaftar di madrasah tersebut. Ia merasa gembira dan bersyukur atas rizki dari Allah ini.

Medina juga memiliki segudang prestasi. Ia ditahbiskan sebagai Best Speaker of MH Thamrin dalam kompetisi debat Bahasa Inggris memperebutkan Thamrin Olimpiad Cup, pada 2015 silam. Dalam kompetisi yang sama, ia meraih juara 2 Best Speaker SMANSA Depok in The Event of AKSI 38. Ia bersama timnya juga menyabet First Runner Up dalam AKSI tersebut.

Lantaran kemampuan Bahasa Inggris-nya yang lumayan bagus, Medina menginisiasi English Debate Club (EDC) di madrasahnya itu. Oleh teman-temannya, ia juga didaulat sebagai ketua kelas. Kemampuan bahasa asing itulah yang ia rasakan menjadi penunjang karir pendidikannya.

Salah seorang guru yang tidak bersedia disebut namanya, menyebut Medina sebagai seorang gadis yang memiliki kepribadian baik, tanggung jawab, bersemangat dalam meraih cita-cita, memiliki minat sosial yang tinggi. Minat sosial tersebut didukung keterampilan sosial dan kemampuan interpersonal yang baik pula.

Medina sosok murid cerdas, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan selalu bersemangat dalam belajar. Prestasi akademiknya pun berbanding lurus dengan prestasi non akademik yang diraihnya. Ia juga aktif dalam beragam ajang perlombaan non akademik sekaligus menjuarainya.

“Medina termasuk gadis yang berani dalam menyampaikan aspirasi dan gagasan. Kemampuan public speaking-nya di atas rata-rata dibanding remaja kebanyakan. Saya sangat mendukung cita-cita Medina untuk melanjutkan pendidikannya di Jepang. Saya yakin dengan segala sumber daya positif yang dimilikinya, ia dapat menyelesaikan pendidikan tingginya dengan cepat,” tandasnya.

Sementara itu, Abdurrahman Mas’ud selaku orang tua hanya berpesan agar Medina tetap menjaga komunikasi. “Minimal seminggu sekali menghubungi orang tua. Ini bagian dari kontrol yang penting,” ujar Mas’ud kepada putrinya.

Di Hokkaido University, Medina akan mengambil konsentrasi Biologi murni. “Di program ini saya bisa milih antara Fisika murni, Kimia murni, atau Biologi murni. Nah, saya referens pertamanya Biologi murni. Setelah selesai dua setengah tahun, baru bisa milih Astronomi atau Ilmu Lingkungan. Pilihan saya masih sangat terbuka sekarang,” ungkapnya.

Dara manis yang pandai bermain piano ini mengaku tertarik mempelajari isu lingkungan. Sebab, ia melihatnya dekat sekali dengan isu kemanusiaan. Fenomena banyaknya pabrik yang bermanfaat bagi kita, misalnya, justru kontraproduktif dengan lingkungan. Kasarnya, bisa bikin kita cepat mati. Di sinilah ia termotivasi belajar ilmu lingkungan. Dengan cinta lingkungan, harapannya ingin memberi manfaat bagi manusia seutuhnya.

Sebelumnya, Medina mengaku memiliki nadzar jika dirinya lulus ujian masuk Hokkaido University, salah satu perguruan tinggi bergengsi di Jepang ini. “Saya akan menghafal Al-Quran enam juz di Kudus, kampung kakek dari papa jika jadi kuliah di sana,” pungkas Medina. 

(Musthofa Asrori)