Nasional MODERASI BERAGAMA

Kampung Arab Pontianak, Kawasan Muslim Arab-Melayu yang Ramah Semua Golongan

Sab, 13 November 2021 | 03:15 WIB

Kampung Arab Pontianak, Kawasan Muslim Arab-Melayu yang Ramah Semua Golongan

Kawasan Kampung Arab di Pontianak, Kalimantan Barat. Kawasan ramah semua golongan. (Foto: NU Online/Siti Maulida)

Ibu kota Kalimantan Barat, yaitu Kota Pontianak merupakan wilayah yang dihuni oleh segala golongan, hampir semua suku maupun agama dapat ditemukan di kota ini. Hal ini dikarenakan banyaknya pendatang dari berbagai daerah yang berpindah tempat dan menetap. Golongan pendatang tersebut memiliki banyak tujuan dan mayoritas mereka berpindah ke Pontianak untuk berdakwah serta mencari mata pencaharian. 


Kota Khatulistiwa ini merupakan wilayah kesultanan, yang memang kebanyakan penduduknya bersuku Melayu. Namun segala suku terlibat dalam pendirian kota ini. Sehingga di beberapa titik terdapat beberapa nama kampung yang sengaja dibuat berdasarkan suku penduduknya. Seperti Kampung Arab, Kampung Bugis, Kampung Jawa, Kampung Madura dan Kampung Cina.


Kampung yang paling terkenal adalah Kampung Arab berada di Jalan Tritura Pontianak, hal ini karena penghuni kampung tersebut adalah penduduk yang bersuku Melayu dan memiliki keturunan Arab termasuk keturunan Sultan Pontianak yaitu Syekh Abdurrahman Al-Kadrie, yang tentu beragama Islam. Seperti saat dikunjungi oleh NU Online pada Jumat Sore (12/11/2021). Terlihat bahwa penduduk Kampung Arab mayoritas parasnya seperti orang Arab.


 

Kawasan Kampung Arab di Pontianak. (Foto: NU Online/Siti Maulida)

 

Untuk memastikan hal tersebut, NU online menghampiri  Ibu-ibu separuh baya sedang menjemur pakaian, bernama Lina (55 tahun). Menurut pemparannya betul bahwa Kampung Arab dihuni oleh penduduk yang berketurunan Arab-Melayu. 


“Ya di sini sejak dahulu memang dihuni oleh kami masyarakat melayu yang memang nenek moyang kami itu orang Arab, dahulu mereka ke sini berdakwah menyebarkan agama Islam,” paparnya. 


Namun ia juga menungkapkan bahwa sudah beberapa kali Kampung Arab didatangi oleh penduduk dari suku dan agama lain. Akan tetapi jumlahnya hanya bisa dihitung dengan jari dalam artian tidak banyak. Termasuk pendatang beragama Konghucu keturunan Tionghoa.


Tidak Mengucilkan Minoritas 

Penduduk Kalimantan Barat termasuk penduduk Kota Pontianak memang memiliki cerita masa lalu yang membekas di tahun 1998, karena pernah terjadi perang antarsuku yang membuat beberapa golongan kehilangan tempat tinggal dan keluarganya. Namun lambat laun masyarakat menyadari bahwa hal itu tidak baik jika diungkit-ungkit kembali. Sehingga mereka memilih untuk hidup berdampingan secara damai dengan semua golongan. Termasuk di Kampung Arab, nilai-nilai kebhinekaan terus dinjunjung tinggi di Kampung ini. 


Salah satu penghuni awal yang sudah lama menetap di Kampung Arab adalah Syarif Ali Barakbah, dalam hal ini diwakili oleh menantunya yaitu Syarifah Sabrina (26). Saat dikunjungi oleh NU Online dikediamannya, Sabrina mengungkapkan bahwa penduduk Kampung Arab selalu rukun dan terbuka bagi siapa pun yang ingin berkunjung atau tinggal di daerahnya. 


“Abah saya, Syarif Usman dan mertua saya Syarif Ali Barakbah selalu mengenalkan nilai-nilai kerukunan kepada anak cucunya. Yang saya tau di Kampung Arab ini ada dua keluarga non-Muslim beretnis Tionghoa. Rumahnya berada di bagian depan dan di bagian belakang gang. Mereka berinteraksi dengan penduduk lain secara normal seperti yang lainnya. Kami tidak pernah mengucilkan kaum minoritas. Wilayah kami penduduknya selalu guyub rukun,” papar perempuan berketurunan syarif tersebut.


NU Online bersama Syarifah Sabrina bin Syarif Ali Barakbah, salah satu penghuni awal yang sudah lama menetap di Kampung Arab. (Foto: NU Online/Siti Maulida)

 

Lebih lanjut Sabrina mengungkapkan bahwa peringatan hari-hari kegamaan di wilayah kota Pontianak yang paling meriah berada di Kampung Arab, seperti peringatan Maulid Nabi, peringatan Satu Muharam, dan peringatan Robo’ Robo’ saat Rabu Wekasan. Bahkan menurut pemaparannya, setiap tahun terdapat pawai akbar yang biasanya diisi oleh anak-anak dan orang remaja, namun di kampung tersebut juga diisi oleh orang tua.


“Jadi kalau ada acara peringatan hari-hari tertentu yang ikut pawai itu di sini para orang tua. Kadang kala kami mengajak penduduk Tionghoa untuk ikut gabung dalam pawai kami untuk memeriahkan, karena mereka tetangga kita ya, jadi makanan hari raya kami bagikan untuk mereka juga, begitu pun sebaliknya,” tandasnya.


Praktik-praktik toleransi antarumat bergama dan suku memang sering disampaikan di beberapa pengajian atau perkumpulan sosial di Kampung Arab. Tak heran jika Kampung Arab mencerminkan masyarakat Muslim yang baik.


Keraton Kadariah Pontianak

Kondisi geografis mempengaruhi masyarakat dalam berperilaku dan bersikap. Termasuk masyarakat yang tinggal di daerah sekitar pondok pesantren maupun keraton. Kebanyakan nilai-nilai yang ditanamkan di tempat sakral tersebut secara tidak langsung tertampias ke penduduk sekitar. 


Sama halnya dengan Kampung Arab, wilayahnya yang berhadapan dengan kawasan Keraton Kadariah Pontianak, membuat penduduknya lebih dekat dan paham dengan nilai-nilai baik yang diajarkan oleh Sultan Pontianak, termasuk nilai kedamaian dan kerukunan.


Kota Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahaman Al-Kadrie (Lahir 1742) pada hari Rabu tanggal 1771 bertepatan dengan tanggal 14 Radjab 1185 Hijriah, kemudian di tahun 1192 H Syarif  Abdurrahman Al-Kadrie dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Pontianak.  Untuk saat ini Kerajaan Kadariah dipimpin oleh sultan yang ke 9 yaitu Sultan Mahmud Al-Kadrie. (Sumber: Keraton Kadariah)


 

Keraton Kadariah di Pontianak. (Foto: NU Online/Siti Maulida)

 

Setelah mengunjungi Kampung Arab, NU Online bergeser berkunjung ke Keraton Kadariah Pontianak untuk menemui salah satu keluarga sultan dan juru kunci Keraton Kadariah untuk menanyakan kondisi kerukunan di daerah keraton dan Kampung Arab. 


Saat memasuki wilayah keraton NU Online menghampiri ibu-ibu berketurunan Arab sedang duduk di teras Keraton bernama Syarifah Lina (60). Ibu tersebut merupakan cucu dari Sultan Pontianak VIII yaitu Sultan Abu Bakar Al-Kadrie. Ia menjelaskan bahwa wilayah perkampungan melayu di sekitar keraton selama ini memang selalu rukun dan terbuka dengan semua golongan.


“Iya, dari dulu kami rukun-rukun aja, dan saling menghargai dengan penduduk minoritas. Mereka yang berketurunan Tionghoa kan juga diakui oleh negara, bahkan yang tidak terdaftar di negara pun asal kunjungannya positif kami juga welcome,” jelas cucu Sultan Abu Bakar Al-Kadrie tersebut.


Ia menjelaskan bahwa nilai-nilai keislaman lekat dengan kedamiaan dan kerukunan, jika daerah keraton termasuk Kampung Arab penduduknya tidak rukun berarti selama ini pemimpin keraton gagal dalam menjalankan peranannya. Menurutnya keluarga Keraton memiliki peran penting dalam memberikan tauladan bagi masyarakat sekitar. 


NU Online bersama Syarifah Lina, salah seorang cucu Sultan Pontianak VIII, Sultan Abu Bakar Al-Kadrie di dalam Keraton Kadariah. (Foto: NU Online/Siti Maulida)

 

Selain hal itu, juru bicara Keraton Kadariah yang masih bagian dari keluarga Sultan yaitu Syarifah Zuhra Al-Kadrie mengungkapkan bahwa keraton sangat terbuka bagi orang bersuku dan beragama apapun. Bahkan selama ini banyak pengunjung dan peneliti yang bersuku dan bergama lain mengunjungi keraton dalam rangka rekreasi atau peneilitian. Selama ini gerbang keraton setiap harinya dibuka agar masyarakat baik dewasa maupun anak-anak bisa berkunjung dan bermain secara bebas. 


“Gerbang kami selalu terbuka untuk semua golongan, lihat halaman depan terdapat anak-anak dari Kampung Arab sedang berlari-lari bermain bola, dan tidak kami larang, kami sangat percaya dengan penduduk sekitar keraton termasuk Kampung Arab, jadi tidak pernah ada kejahatan di daerah ini,” ungkap Syarifah Zuhra.


Ia menambahkan, pentingnya menanamkan kepercayaan untuk orang lain agar bersikap damai dan rukun antarumat bergama dan berbangsa. Indonesia didirikan oleh para ulama dan wali yang memiliki cara-cara berbeda dengan menyesuaikan budaya yang dituju, dan cara-cara tersebut mudah di terima oleh penduduk. Menurutnya sudah seharusnya masyarakat Muslim meneladani ulama dan wali, termasuk bagaimana mereka menghargai perbedaan, karena hal tersebut merupakan kunci kerukunan dan kedamaian.


Penulis: Siti Maulida

Editor: Fathoni Ahmad


Konten ini hasil kerja sama NU Online dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI