Nasional

Katib PBNU: Halaqah Fiqih Peradaban Rumuskan Langkah Antisipasi Politisasi Identitas

Sen, 12 September 2022 | 16:00 WIB

Katib PBNU: Halaqah Fiqih Peradaban Rumuskan Langkah Antisipasi Politisasi Identitas

Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Muhammad Faiz Syukron Makmun (Gus Faiz). (Foto: Pesantren Darus-Sunnah/Siroj).

Jakarta, NU Online

Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Muhammad Faiz Syukron Makmun (Gus Faiz) menyebut bahwa Halaqah Fiqih Peradaban bertujuan untuk merumuskan langkah-langkah antisipasi terhadap maraknya politisasi identitas agama, terutama menjelang tahun politik 2024. 


Menurut Gus Faiz, identitas yang paling penting adalah soal beragama sehingga harus benar-benar dijaga. Sebab melakukan politisasi agama merupakan tindakan yang salah, tetapi memojokkan agama keluar dari semua sendi kehidupan manusia juga tidak dibenarkan. 


Hal tersebut diungkapkan Gus Faiz saat menjadi narasumber dalam Halaqah Fiqih Peradaban bertajuk ‘Fiqih Siyasah antara Perang dan Damai’ yang digelar di Pondok Pesantren Darus-Sunnah, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten pada Ahad (11/9/2022). 


“Pada konteks fiqhul hadharah (fiqih peradaban) perlu ijtihad baru, yang disesuaikan dengan semangat zaman. (halaqah fiqih peradaban) harus memberikan rumusan (antisipasi politik identitas),” ungkapnya. 


Gus Faiz menegaskan bahwa identitas pada diri seseorang tidak mungkin bisa dihilangkan, lebih-lebih yang menyangkut identitas keagamaan. Sebab bagi masyarakat Indonesia, identitas agama merupakan sesuatu yang sangat esensial dalam hidup setiap orang. 


“Saya boleh hafal Pancasila, menguasai UUD 1945, karena itu adalah pedoman saya dalam berbangsa dan bernegara, tetapi saat saya mati, masuk liang kubur, saya berharap anak saya membaca talqin untuk saya bukan butir-butir Pancasila. Itu artinya, ada identitas yang terbawa dalam perjalanan panjang sampai ke akhirat,” ungkap Gus Faiz.


Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pertikaian antaragama terkadang dilandasi oleh kecintaan, tak melulu karena kebencian. Sebagai contoh, ada seorang yang mengajak orang lain untuk memeluk agama yang sedang dianutnya. Ajakan ini bukan karena benci, tetapi mungkin saja karena cinta. 


“(Misalnya) ketika saya punya teman non-muslim, Kristen, dia mengajak saya masuk Kristen, itu kan bukan karena kebencian dia sama saya, justru mungkin karena dia sayang sama saya, ingin saya tidak menjadi domba yang tersesat,” ungkap Pengasuh Pesantren Daarul Rahman Jakarta itu. 


Namun, karena identitas merupakan sesuatu yang sangat esensi, maka pertikaian yang timbul atas nama agama menjadi sangat berbahaya. Sebab, hal itu belum tentu didorong oleh kebencian tetapi juga didorong oleh kecintaan. 


“Di sinilah lahir fiqhul hadharah (fiqih peradaban) ketika semua agama berkembang, ketika semua kehidupan bercampur, ketika batasan tidak sesederhana itu. Karena (politisasi) identitas ini bahaya, kalau dimainkan luar biasa (bahayanya),” ungkap putra Kiai Syukron Makmun itu. 


Perbedaan peradaban setiap negara
 
Sementara itu, Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Nur Rofiah menjelaskan tentang peradaban yang ada di setiap negara di dunia. Terdapat tiga model negara yang berkaitan dengan Islam. 


Pertama, ada negara seperti Turki yang semula adalah wilayah kekhalifahan tetapi menjadi sangat sekuler di bawah kepemimpinan Mustafa Kemal Attaturk, pasca-runtuhnya Turki Utsmani pada 1922.


Kedua, ada negara menjadikan Islam sebagai dasar, sehingga hukum-hukum Islam diterapkan. Negara model ini seperti Iran pasca-revolusi di bawah kepemimpinan Reza Pahlevi pada 1979. Ketiga, model negara seperti Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Muslim tetapi nilai-nilai Islam menjiwai negara. 


Masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia saat ini juga memiliki beragam situasi. Ada Muslim yang menjadi penduduk tunggal sebuah negara atau sebuah negara yang seluruh penduduknya adalah Muslim, seperti yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah.


Ada pula Muslim yang menjadi minoritas di sebuah negara seperti yang ada di Eropa atau negara di belahan dunia bagian barat. Tetapi ada juga negara yang mayoritas penduduknya Muslim meski negaranya tidak berdasarkan pada hukum Islam, seperti di Indonesia. 


“Betapa pentingnya kita (Muslim Indonesia) menyadari bahwa di Indonesia sebagai mayoritas, kalau punya sikap kasar terhadap minoritas maka itu akan berdampak kepada saudara kita yaitu Muslim yang ada di luar negeri yang sedang jadi minoritas,” jelas Doktor Tafsir jebolan Universitas Ankara, Turki itu. 


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syakir NF