Nasional

Ketika Gus Dur Tidak Naik Kelas

Ahad, 10 Januari 2021 | 18:00 WIB

Ketika Gus Dur Tidak Naik Kelas

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). (Foto: dok NU Online)

Tangerang Selatan, NU Online

Semasa kecil, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah sosok yang tangguh dan sudah belajar untuk bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakannya. Pendidikan karakter ini ia dapatkan semasa usia 5-8 tahun dari kakek buyutnya sendiri, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU.

 

Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr Lilik Ummi Kaltsum menyampaikan hal itu saat Webinar Haul Ke-11 Gus Dur dengan tema Gus Dur di Mata Para Cendekiawan yang diselenggarakan oleh Gusdurian Ciputat, Ahad (10/1) malam.


Manurut anggota pentashih Al-Qur’an Kemenag RI ini, sejak kecil Gus Dur memang sering diasuh oleh mbahnya, Kiai Hasyim. Kiai Hasyim mendidik Gus Dur dengan mengajarkan materi-materi keagamaan seperti cara membaca Al-Qur'an yang baik dan benar, shalat, dan praktik ibadah lainnya.

 

Gus Dur juga diajarkan cara bersikap yang baik terhadap siapapun. Di sisi lain, Gus Dur sering menonton pertunjukan wayang sejak kecil. Gus Dur melakukan itu tanpa memberitahu kakeknya.

 

"Gus Dur ketika kecil suka nonton wayang, bahkan sampai Subuh. Keluar pun tanpa meminta izin kepada Mbahnya," ujar doktor kelahiran Surabaya tersebut.


Kebiasaan Gus Dur itu tidak membuat marah kakeknya. Bahkan Kiai Hasyim mengalihkan perhatian Gus Dur untuk belajar bahasa asing kepada seorang pengusaha gula Belanda saat itu. Sehingga, Gus Dur masa kecil sudah menguasai bahasa-bahasa asing seperti bahasa Belanda, Jerman, dan Inggris. Gus Dur juga mengenal musik-musik Barat seperti simfoni.


Semenjak wafat kakek dan ayahnya, Gus Dur menjadi sosok yang menjadi harapan bagi keluarganya untuk membantu mencari nafkah. Sejak usia SD, ia membantu perekonomian dengan menjual beras. Berjualan dari pagi dengan naik angkot sampai pulangnya naik truk. Di sela-sela berjualannya, Gus Dur juga menyempatkan untuk membaca buku.


Karena kesibukan dan perjuangannya, Gus Dur sampai tidak naik kelas. Selain berjualan, ia juga membantu ibunya untuk mengurus kelima adiknya.


"Kesibukan dan tanggung jawabnya yang luar biasa inilah, Gus Dur sampai tidak naik kelas secara sekolah formal," terang Lilik.

 

Pada webinar ini juga hadir Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Oman Fathurahman.


Kontributor: Iman Rohiman
Editor: Kendi Setiawan