Nasional

Ketua PBNU Kritisi Kebijakan Pemerintah soal Vaksinasi Covid-19

Rab, 18 November 2020 | 21:30 WIB

Ketua PBNU Kritisi Kebijakan Pemerintah soal Vaksinasi Covid-19

Ketua PBNU Bidang Kesehatan yang juga epidemilog, dr Syahrizal Syarif mengatakan jika setiap orang membutuhkan dua dosis vaksin, pemerintah harus menyediakan 320 juta dosis vaksin untuk mengupayakan kekebalan kelompok. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Kesehatan dr Syahrizal Syarif mengaku berbeda pendapat soal kebijakan pemerintah mengenai target sasaran utama vaksinasi Covid-19, jika nanti sudah berhasil diluncurkan. Sebab menurutnya, produksi vaksin pasti sangat terbatas.

 

"Saya terus terang berbeda pendapat dengan pemerintah. Saya mempertanyakan sebenarnya kebijakan pemerintah itu bagaimana?" ungkap dr Syahrizal dalam Webinar Nasional Vaksin Covid-19, Antara Keyakinan dan Keraguan, Rabu (18/11) malam.

 

Sebagaimana kabar yang telah beredar, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI memberikan prosedur terkait proses vaksinasi Covid-19 yang akan diberikan kepada penduduk berusia 18 hingga 59 tahun. 

 

Kemudian sasaran vaksinasi pada kisaran 70 persen penduduk, yakni sekira 160 juta orang yang harus mendapatkan vaksin Covid-19. Jika setiap orang membutuhkan dua dosis vaksin maka pemerintah harus menyediakan 320 juta dosis vaksin untuk mengupayakan kekebalan kelompok.

 

"Ini (kebijakan) seolah-olah kelompok masyarakat ini adalah kelompok prioritas. Saya tidak begitu setuju karena kalau kita lihat pedoman WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) dinyatakan bahwa jika vaksin terbatas maka yang harus diprioritaskan tentu tenaga kesehatan," ungkap dr Syahrizal yang juga ahli epidemilogi UI.

 

Namun, lanjutnya, WHO menganjurkan agar kelompok berikutnya yang mendapat vaksinasi adalah orang-orang yang berpotensi meninggal seperti orang tua dan pasien Covid-19 dengan penyakit penyerta. 

 

"Ini yang saya lihat di Indonesia punya kebijakan berbeda karena mengutamakan kelompok umur dari 18-59 tahun. Pada dasarnya tidak pernah ada kontraindikasi terhadap usia. Kontra indikasi vaksin selalu saja alergi atau mereka yang sudah terinfeksi, ibu hamil, dan sakit berat," jelas Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI) ini.

 

Vaksin yang dilematis 

Sementara itu, Ketua Satuan Tugas (Satgas) NU Peduli Covid-19 dr Makky Zamzami menyatakan bahwa masih ada keraguan di masyarakat soal vaksin Covid-19. Oleh karena itu, katanya, sosialisasi mengenai vaksin harus dimasifkan oleh semua pihak.

 

"Kita tidak ingin pemerintah yang sudah bersusah payah menghadirkan vaksin Covid-19 tetapi masyarakat justru menolak, hanya karena ragu," ungkap dr Makky. 

 

Menurutnya, jika sampai terjadi penolakan oleh masyarakat karena masih meragukan vaksin Covid-19 yang tentu sudah melalui tahap uji klinis, itu menjadi tantangan yang sangat berat. Bahkan sesuatu yang sangat dilematis.
 

"Tantangan berat yaitu jika terjadi penolakan. Menghadirkan vaksin sendiri saja sudah menjadi tantangan yang berat. Kemudian ditambah lagi satu keraguan, penolakan. Ini dilematis," ungkapnya. 

 

Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Rizky Ika Syafitri, mengungkapkan bahwa sosialisasi yang dikemas dalam bentuk webinar menjadi bagian dari upaya memastikan ketersediaan vaksin yang aman dan efektif. 

 

"Kami juga mendorong kehalalan vaksin Covid-19 terus diperjelas sehingga tidak terdapat keraguan dari masyarakat sebagai penerima vaksin tersebut. Kami ingin memastikan bahwa ketersediaan vaksin aman efektif," tutur Rizky.

 

Namun, lanjutnya, saat ini yang tetap harus terus disosialisasikan kepada masyarakat untuk mencegah penyebaran dan penularan Covid-19 adalah soal 3M yakni mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker.

 

"Itu yang harus terus dilakukan," tegasnya.

 

Webinar juga menghadirkan pembicara Kolaborator Ahli Lapor Covid-19 Dicky Pelupessy, Sekretaris LBM PBNU KH Sarmidi, dan perwakilan Bio Farma Indonesia Neny Nuraini.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan