Nasional

Ketum Matakin: Indonesia Butuh Pemimpin Sat-Set dan Cekatan

Ahad, 30 Oktober 2022 | 11:00 WIB

Ketum Matakin: Indonesia Butuh Pemimpin Sat-Set dan Cekatan

Para peserta tampak antusias mengikuti pembukaan Kongres Nasional II Pakin di Jakarta Utara, Sabtu (29/10/2022). (Foto: Pakin/Wibisana)

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Dewan Rohaniawan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) Xs Budi Santoso Tanuwibowo menyebut bahwa saat ini bangsa Indonesia butuh pemimpin cekatan. Yakni, sosok yang tidak hanya pandai beretorika. Namun, juga bisa bekerja dari hulu ke hilir.


Hal itu disampaikannya pada pembukaan Kongres Nasional II Pemuda Agama Khonghucu Indonesia (Pakin) di ballroom Hariston Hotel Jakarta Utara, Sabtu (29/10/2022). “Kita butuh pemimpin yang bukan hanya bisa beretorika, melainkan harus sat-set, cekatan, dan bisa bekerja sampai ke bawah,” kata Budi.


Sebab saat ini, kata dia, Indonesia tengah mengalami problem serius berupa pertentangan ideologi dan pemikiran yang makin keras, perubahan iklim ekstrem, ajaran leluhur yang mulai dilupakan oleh generasi muda.


“Lalu, disrupsi teknologi, hubungan kekerabatan sosial antaranak bangsa yang semakin rentan oleh berbagai fenomena polarisasi di media sosial. Hal ini menyebabkan masa depan semakin buram dan tidak pasti,” ujarnya.


“Tantangan tersebut harus dijawab oleh Pakin melalui aksi nyata, tidak hanya wacana. Karena saya lihat generasi muda kita hanya bisa berwacana, belum bisa sat-set. Hanya bisa bikin proposal, bikin wacana, lalu diam (tidak ada realisasinya),” lanjut Budi.


Senada dengan Budi, Asisten Deputi Revolusi Mental Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Katiman Kartowonowo mengatakan, berdasarkan data BPS tahun 2020, 2 per 10 pemuda di Indonesia merupakan kaum rebahan yang enggan berusaha untuk mencari pekerjaan alias kaum lontang lanting.


“Kalau istilah yang dipakai BPS itu Not in Education, Employment, or Training, NEET,” ungkap Katiman.


Hal tersebut, lanjut dia, akan menghambat bonus demografi Indonesia yang sedang kita jalani saat ini hingga puncaknya tahun 2030 mendatang.


“Ini kalau Bapak Menko sering menjelaskan, kita sebenarnya sudah masuk ke era bonus demografi dan puncaknya pada 2030. Bonus ini bisa terjadi kalau usia produktif sekarang benar-benar produktif. Kalau itu tidak terjadi, maka tidak ada (bonus demografi), yang ada kerugian demografi,” tandasnya.


Dorong bonus demografi
Katiman melanjutkan, perlu upaya semua unsur untuk mendorong agar bonus demografi benar-benar terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, pihaknya meminta Pakin untuk turut andil dalam peran-peran strategis terkait pembekalan generasi yang lebih berkualitas, kritis, dan inovatif.


“Kita berharap supaya Pakin berperan lebih aktif dalam mempersiapkan generasi muda kita, sehingga generasi emas sebagaimana kita harapkan benar-benar dapat emas (tercapai),” harapnya.


Selain itu, lanjut dia, tantangan ke depan dalam menjaga kerukunan dan toleransi makin berat atas maraknya konten-konten negatif yang dapat merusak konsensus dasar kebangsaan. Misalnya ujaran kebencian, hoaks, hasutan kekerasan atas nama agama, serta radikalisme dan ekstremisme yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.


Oleh sebab itu, pihaknya menuturkan perlu upaya sinergis dan kolaboratif untuk meningkatkan literasi keagamaan dalam ruang digital untuk menghadirkan nilai-nilai inklusif beragama.


Katiman juga berharap Pakin dapat mendukung dua aksi nyata yang diinisiasi Kemenko PMK dalam upaya menjaga Indonesia, seperti penanaman sejuta pohon serta program santun dan tertib bermedia.


“Karena kita hidup di dua dunia, yakni dunia nyata dan dunia maya, dunia maya kita diukur, seberapa besar tingkat keadaban kita. Ternyata menurut data Microsoft, kita ranking 29 dari 32 negara. Rangking terbawah lah, kita. Artinya, belum terlalu beradab lah kita di media sosial,” ungkapnya.


Ia menambahkan bahwa 47 persen masyarakat Indonesia bermedsos untuk menyebarkan hoaks dan penipuan, 27 persen ujaran kebencian, dan 13 persen diskriminasi. Oleh karenanya, perlu upaya untuk mengubah konstruksi berpikir supaya masyarakat lebih beradab.


“Kita bekerja sama dengan pihak yang bisa mengembangkan platform, kita menginisiasi platform bernama ‘Gotong Royong Ilmu’ supaya pencari informasi valid dan tepat dari sumbernya, karena untuk membuat hoaks hanya perlu waktu satu menit, sedangkan untuk mengklarifikasi perlu waktu hingga 9 jam,” lanjut Katiman.


Padahal, kata dia, setiap hari ada ratusan bahkan ribuan hoaks. Perlu waktu yang luar biasa untuk memastikan bahwa informasi yang ada di medsos benar. Pihaknya berharap dalam kongres ini dibahas pula kontribusi Pakin dalam upaya memberi pemahaman kepada masyarakat supaya lebih santun dan beradab di medsos.


Kontributor: Vinanda Febriani
Editor: Musthofa Asrori