Nasional

KH Abbas Buntet, Pendekar Tangguh yang Juga Ahli Fiqih

Rab, 7 Desember 2022 | 05:30 WIB

KH Abbas Buntet, Pendekar Tangguh yang Juga Ahli Fiqih

KH Abbas Abdul Jamil Buntet Pesantren. (Foto: dok. istimewa/Syakir)

Cirebon, NU Online

Prof KH Nadirsyah Hosen menegaskan bahwa KH Abbas Abdul Jamil Buntet Pesantren bukan sekadar seorang pendekar tangguh yang memiliki kemampuan ilmu kanuragan, tetapi juga merupakan seorang ahli fiqih.


“Saya ingin mengatakan, bahwa Kiai Abbas bukan hanya sekadar pendekar, tetapi beliau adalah ahli fiqih,” tegas Guru Besar Ilmu Hukum Islam di Universitas Monash, Melbourne, Australia itu saat mengisi Simposium Internasional yang digelar oleh Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Buntet Pesantren pada Selasa (6/12/2022).


Kesimpulan itu diperoleh karena cerita-cerita dari ayahandanya, Prof KH Ibrahim Hosen, yang merupakan salah satu santri kinasih Kiai Abbas. Ia menjelaskan, tak banyak orang yang dapat mengaji secara langsung kepada Kiai Abbas.


Ibrahim muda berangkat dari Bengkulu ke Jawa untuk mencari sosok ulama besar yang dikaguminya itu. Ia memiliki darah Bugis, tetapi tinggal di Bengkulu karena penyerangan Belanda di daerahnya. Setelah sampai Buntet Pesantren dan diterima sebagai santri, ia bertanya terkait tempat untuknya menginap. Tak disangka, ia justru diminta untuk tinggal bersama sang guru di rumahnya.


“Saat itu Kiai Abbas tidak hanya mengajar lagi secara umum. Dia hanya mengajar santri khusus,” ujar akademisi yang akrab disapa Gus Nadir itu.


Saat itulah, Ibrahim muda mulai mengaji kepada Kiai Abbas secara langsung. Ia tidak mengaji pencak silat. Bukan pula mengaji ilmu kanuragan dan kesaktian. Ia betul-betul mengaji beberapa kitab pengetahuan agama, khususnya dalam bidang fiqih.


Di masa itu, Ibrahim muda tidak hanya diajarkan mengenai fiqih dalam mazhab Syafi’I, tidak pula sekadar empat mazhab fiqih, yakni Hanafi, Maliki, dan Hanbali, tetapi juga mazhab-mazhab lain di luar itu.


“Umumnya pesantren kita mengenal Mazhab Syafii, sedikit mengenal. abah saya diajarkan fiqih perbandingan agama di luar 4 mazhab. Waktu itu, beliau mengajarkan kepada Abah saya tentang mazhab Dzohiri,” jelasnya.


Dalam kesempatan tersebut, Gus Nadir mencontohkan satu pelajaran mengenai perbandingan mazhab yang diperoleh ayahnya dari Kiai Abbas, yakni tentang perwalian dan persaksian dalam pernikahan.


“Begitu masuk fiqih munakahat, ketika ada pertanyaan sahkah nikah tanpa wali (dan) tanpa saksi? Nikah tanpa wali sah menurut Imam Abu Hanafi. Syaratnya adalah balighah dan Rasyidah, dia harus sudah dewasa dan dia cerdas,” katanya.


“Nikah tanpa saksi, sahkah? Imam Malik mengatakan sah asalkan qablad dukhul, dia sudah sampaikan kepada masyarakat bahwa sudah menikah dengan si A,” lanjut Gus Nadir.


Namun, bagaimana hukumnya nikah tanpa wali dan tanpa saksi? Sahkah? Di sini, kata Gus Nadir, Kiai Abbas menjelaskan kepada abahnya, bahwa mazhab Dzohiri membolehkan hal tersebut. “tanpa wali tanpa saksi, mazhab mana yang membolehkan? Kiai Abbas mengatakan kepada abah saya, mazhab Dzohiri,” terangnya.


Dalam kesempatan itu, kata Gus Nadir, Kiai Abbas menyampaikan kepada Abahnya, bahwa jika kamu menikah tanpa wali dan tanpa saksi kemudian orang bertanya itu siapa, jangan dijawab istri dari mazhab Dzohiri karena orang tidak akan paham. “Jawab saja, ini saudara saya atau apa. Khawatir heboh. Jadi Mazhab Dzohiri membolehkan,” ujarnya.


Bahkan dalam suatu kali ketika Abahnya, Prof KH Ibrahim Hosen, diminta untuk berceramah dalam Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Pondok Buntet Pesantren, ia menyampaikan mungkin dirinya akan disebut orang yang halal darahnya jika membuka seluruh pengetahuan yang diperoleh dari Kiai Abbas.

 

“Kalau saya diizinkan membuka semua ilmu yang ceritakan kepada saya, saat ini orang akan mengatakan darah saya halal,” ujar Gus Nadir mengutip pernyataan abahnya.


Lebih lanjut, Gus Nadir menjelaskan bahwa Kiai Abbas merupakan sosok ulama besar yang tawadu sehingga dikenal oleh banyak orang karena ilmu kanuragannya. Ketawaduan itu tidak lain karena ada sosok guru dan karibnya, yaitu Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah. Karenanya, Kiai Abbas lebih menonjolkan diri dalam bidang lain untuk memperkuat keilmuan para ulama.


“Sisi lain yang beliau lakukan memperkuat keilmuan dari para kiai kita yaitu dari ilmu kebatinan tadi. Meskipun beliau paham ilmu fiqih,” katanya.


Oleh karena itu, Gus Nadir mengingatkan bahwa santri ideal adalah memiliki kemampuan yang mumpuni dalam bidang fiqih, juga ilmu kebatinan. “Yang terbaik seperti Kiai Abbas, Itulah idealnya santri Buntet Pesantren sekarang,” pungkasnya.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad