Nasional

KH Miftachul Akhyar Jelaskan Cara Shalat dengan Khusyuk

Sen, 13 Desember 2021 | 06:30 WIB

KH Miftachul Akhyar Jelaskan Cara Shalat dengan Khusyuk

Rais 'Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Rais 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar menjelaskan, kenikmatan dalam shalat bisa diraih ketika dijalani dengan penuh kekhusyukan. Untuk bisa memperoleh rasa khuyuk tersebut, ada banyak cara. Salah satunya adalah dengan menghayati kalimat takbir saat takbiratul ihram.


Lebih rinci, Kiai Miftach memaparkan, ketika seseorang melakukan takbiratul ihram dan mengucapkan lafal Allahu akbar, maka harus benar-benar terpikir bahwa hanya Allah dzat yang maha besar, sementara seluruh makhluk di dunia sengat kecil. Bahkan besarnya Allah itu tidak bisa dibandingkan dengan apa pun yang ada di dunia.


"(Dengan begitu), seharusnya saat takbir, semua yang ada di dalam pikiran seseorang ini hilang, hanya ada Allah. Lisannya Allahu akbar, hatinya juga Allahu akbar," katanya saat ngaji kitab Al-Hikam dan ditanyakan di channel youtube TVNU, Jumat (11/12/2021). 

 


Cara lain, seseorang tidak boleh tergesa-gesa ketika berangkat ke tempat shalat. Oleh karenanya, Rasullullah saw menganjurkan agar jika seorang Muslim berangkat menuju tempat shalat, hendaknya dengan sikap yang tenang sambil menata hati. Supaya begitu masuk takbiratul ihram, mudah memperoleh khusyuk.


"Kalau berangkat (shalat) nunggu suara iqamah dulu, bagaimana mungkin bisa kusyuk (karena terburu-buru)," ujar kiai kelahiran Surabaya, Jawa Timur itu.


Lebih lanjut, Pengasuh Pondok Pesantren Miftsachus Sunnah, Surabaya itu memaparkan, jika seseorang sudah merasakan kekhusyukan yang maksimal, maka akan memperoleh rasa nikmat yang sangat besar saat melakukan shalat. Sebagaimana yang pernah Rasulullah alami dan dijelaskan dalam hadits yang artinya, "Dan kebanggaanku dijadikan di dalam shalat".

 


"Maksud kata 'kebanggaan' (qurratu 'ain) pada hadits tersebut adalah kebahagiaan yang luar biasa dan sudah mencapai puncak," jelas Kiai Miftach mengutip Ibnu Atha'illah as-Sakandari.


Hanya saja, imbuh Kiai Miftach, tidak ada manusia yang bisa mencapai level kebahagiaan dalam shalat seperti yang dirasakan oleh Nabi. Umatnya hanya bisa merasakan pada level tertentu saja atau sebatas menyerupai.


"Menyerupai iya, tapi tidak bisa mendekati," tambahnya.


Berkaitan dengan urgensi khusyuk dalam shalat, Kiai Miftach mengutip penjelasan Imam Al-Ghazali yang mengatakan bahwa diterimanya shalat seorang hamba, tergantung sebesar apa rasa khusyuk yang dimilikinya.

 


"Jadi kalau ada orang shalat khusyuknya hanya saat takbiratul ihram, maka yang diterima ya hanya takbiratul ihrahmnya saja," pungkas Kiai Miftach.


Kontributor: Muhamad Abror
Editor: Syamsul Arifin