Nasional

Kiprah Perempuan Pesantren dari Era Kolonial, Pasca-Kolonial hingga Milenial

Rab, 26 Oktober 2022 | 22:00 WIB

Kiprah Perempuan Pesantren dari Era Kolonial, Pasca-Kolonial hingga Milenial

Panitia Silatnas Bu Nyai Nusantara 3 melakukan audiensi dengan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. (Foto: Panitia Silatnas)

Jakarta, NU Online
Kontribusi peran perempuan pesantren sudah tidak dapat diragukan lagi. Banyak bukti sejarah yang mengungkap berbagai peran bu nyai dalam berbagai hal. Bukan sekedar mendampingi seorang kiai untuk mengurus santri.


Berbagai tokoh perempuan pesantren yang berperan dalam membangun peradaban dari masa ke masa diungkapkan oleh Pengasuh Pesantren Fatkhul Mu’in Purwokerto, Nyai Hj Durrotun Nafisah, dalam webinar Pra Silatnas Bu Nyai Nusantara 3, yang disiarkan melalui Zoom Meeting, Selasa (25/10/2022).


Menurut Nyai Durroh, sapaan akrabnya, di era kolonial ada beberapa tokoh perempuan yang menggemparkan dunia. Pertama, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Johan yang bergerak dalam bidang politik pemerintahan.


“Ratu Kesultanan Aceh yang memerintah pada 1642-1675 ini gemar mengarang sajak dan cerita serta membantu berdirinya perpustakaan di negaranya. Pada masanya, kajian dan literatur Islam bahkan ekonomi dan perdagangan sangat berkembang pesat,” tuturnya.


Kedua, Keumala Hayati yang bergerak di bidang politik militer. Ia memimpin 2000 orang pasukan janda pahlawan yang telah syahid berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu sehingga ia dijuluki laksamana atas keberaniannya.


Ketiga, Syekhah Hajjah Rangkayo Rahmah El-Yunusiyah yang bergerak di bidang pendidikan Islam. Ia berperan mendirikan Diniyah Putri, taman kanak-kanak, hingga sekolah tinggi di Padang Panjang Sumatra Barat.


Keempat, Raden Adjeng Kartini yang memperjuangkan emansipasi perempuan. Ia merupakan pahlawan nasional asal Jepara, Jawa Tengah, yang mengadvokasi hak-hak perempuan dan pendidikan bagi perempuan.


“Kelima, Syekhah Khairiyah Hasyim yang menggagas Madrasah Banat di Arab agar kaum hawa diberi ruang untuk belajar. Ia merupakan perempuan pertama yang menjadi pengurus PBNU. Keenam, Nyai R Djuaesih dan Nyai Siti Sarah sebagai penggagas berdirinya organisasi perempuan Muslimat NU,” jelasnya.


Sedangkan di era pascakolonial dari tahun 1945-2000-an, Nyai Durroh menjelaskan ada beberapa tokoh perempuan pesantren yang berjasa besar yakni Chuzaimah Mansur, Aminah Mansur, dan Murthosiyah sebagai perintis Fatayat NU. Nyai Fatimah, Nyai Mahmudah Mawardi, Nyai Khoiriyah Hasyim sebagai tokoh yang aktif pada organisasi masyarakat Muslimat PBNU.


“Kemudian ada juga Nyai Hj Sinta Nuriyah Wahid sebagai aktivis perempuan pendiri Puan Amal Hayati. Khofifah Indar Parawansa seorang aktivis politisi dan juga gubernur. Ada juga Nyai Hj Nafisah Sahal Kajen,” terangnya.


Nyai Durroh mengungkapkan, di era milenial juga terdapat banyak perempuan pesantren yang memiliki peran aktif yakni Ning Sheila Hasina dengan konten fikih kewanitaannya, Nyai Badriyah Fayumi yang fokus di bidang politik dan kini mengelola pesantren.


Kontributor: Afina Izzati
Editor: Musthofa Asrori