Nasional

Kisah Pemuda Katolik dan Gerakan NU untuk Kelestarian Lingkungan

Ahad, 10 Desember 2023 | 21:00 WIB

Kisah Pemuda Katolik dan Gerakan NU untuk Kelestarian Lingkungan

Aktivis NU Eco Peace sebuah gerakan dan komunitas yang diinisiasi oleh Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU) sejak 2021 yang aktif mengampanyekan dan mencetak generasi peduli lingkungan dari kalangan pemuda lintas agama (Foto: istimewa)

Jakarta, NU Online
Beragam dalam satu kepedulian. Kalimat inilah yang mungkin tepat menggambarkan perhatian pada problem lingkungan sanggup menyatukan orang dari latar belakang berbeda dalam satu wadah gerakan ekologi di Nahdlatul Ulama (NU). Seperti yang dialami Guido Alvin Clementino Tuas, pemuda Katolik asal Kupang yang terlibat dalam gerakan NU Eco Peace. Kegelisahan yang sama atas berbagai persoalan ekologis mempertemukannya dengan NU, juga dengan sejumlah kawan lain dari beragam komunitas agama.

 

NU Eco Peace adalah gerakan dan komunitas yang diinisiasi oleh Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU) sejak 2021 yang aktif mengampanyekan dan mencetak generasi peduli lingkungan dari kalangan pemuda lintas agama, baik melalui kegiatan luring maupun daring di media sosial. Dari NU Eco Peace ini juga lahir pegiat-pegiat lingkungan lintas agama.


Guido mengaku bangga menjadi bagian dan belajar banyak dari komunitas ini. "Saya itu setiap kali ada acara mewakili NU Eco Peace berkenalan di depan peserta dan menginformasikan bahwa nama saya Guido Alvin, saya Katolik yang NU," kelakarnya.


Dari Skripsi ke Gerakan Lingkungan NU
Perkenalan Guido dengan NU dimulai sejak duduk di bangku kuliah saat menuliskan skripsi tentang NU. Kala itu tugas akhir yang dia susun berjudul Konsep Islam Nusantara Menurut Nahdlatul Ulama dan Konsep Islam Wasathiyah Menurut Azyumardi Azra serta Relevansinya dalam Menciptakan Kehidupan yang Damai dan Toleran di Indonesia.


"Dari tulisan saya itu saya sangat akrab dengan bacaan serta banyak literatur lain tentang NU. Pun saya punya banyak bukunya juga," ujar Guido yang kini tinggal di Jakarta saat berbincang dengan NU Online, 30 November lalu.

 

Guido mengaku merasa seperti berjodoh dengan NU. Sebab, usai menyelesaikan tugas akhir tersebut, secara kebetulan dibuka seleksi untuk turut serta program NU Eco Peace dan berhak mengikuti rangkaian kegiatan, yakni Eco-Peace Workshop, Eco-Peace Writing and Content Creative, dan Eco-Peace Virtual Field-Trip. 

 

"Saya sangat senang. Ditambah lagi dapat bertemu dengan teman-teman yang berbeda dan mendapat banyak masukan serta pengetahuan yang baik," kesannya. 

 

Dari NU Eco Peace ini pula, Guido berkesempatan mengikuti kegiatan FICI (Faith Inspirate Changemakers Initiative) yang sekarang menjadi Spiritual Changemakers Initiative (SICI) sebagai alumni Master Class Faith Inspirate Changemaker Indonesia yang diselenggarakan oleh Ashoka Indonesia dan Eco Bhinneka Muhamadiyah.

 

"Dari saat itu saya aktif menyuarakan banyak aksi dalam lingkup komunitas saya di luar Eco Peace. Dan ternyata menjadi daya dorong saya bergerak membawa nama NU Eco Peace Indonesia," kata Guido yang bercerita, baru-baru ini ia terkesan dan berbagi ilmu di Pesantren Ekologi Ath-Thoriq Garut.

 

Pengalaman-pengalaman yang dia dapat baik dari NU Eco Peace, SICI, dan juga berbagai kalangan pegiat lingkungan membuatnya menyadari bahwa agama dan lingkungan hidup memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan.

 

"Bagi saya saat berbicara tentang lingkungan hidup, hal ini dapat dikampanyekan melalui banyak aspek. Dalam konteks Indonesia, agama menjadi sarana paling penting dalam membagikan pesan perubahan," paparnya.

 

Kecintaan Guido terhadap lingkungan dan semangatnya untuk terus menjaga kelestariannya dilakukan dengan aktif di berbagai organisasi yang bergerak seirama. Dia menjabat sebagai koordinator FunHutan Indonesia dan ketua Departemen Lingkungan Hidup dan Kelautan Asosiasi Konten Kreator untuk Nusantara, dan aktif sebagai penggerak lingkungan di Perkumpulan Bhatida Indonesia. 

 

Dari setiap organisasi yang diikuti, Guido mengaku menemukan fokus gerakan yang berbeda-beda. Di NU Eco Peace dia belajar dan turut serta mengembangkan konten positif melalui media sosial terkait pentingnya menjaga alam tetap asri dan terjaga.

 

Selain itu, dia juga ikut menjaga lingkungan dengan mengembangkan program menanam mangrove lewat komunitas FunHutan Indonesia dan Perkumpulan Bhatida Indonesia. Ada juga kesempatan mengembangkan ekonomi kreatif masyarakat dan menjaga lingkungan dengan memberikan 5000 bibit pohon multiguna di Kampung Baduy.

 

Gerakan-gerakan ini, katanya, penting dalam kaitannya dengan perubahan iklim. Orang yang tergabung dalam SICI dan komunitas lingkungan antaragama akan menjadi sadar, bukan soal ayat mana yang paling benar tapi ada masalah besar yang menjadi fokus bersama yakni soal lingkungan.


"Terima kasih NU," ujar pria lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini.