Nasional

Kolaborasi Interdisiplin Keilmuan Lahirkan Kemaslahatan

Sen, 8 Februari 2021 | 12:37 WIB

Kolaborasi Interdisiplin Keilmuan Lahirkan Kemaslahatan

Ilustrasi interdisiplin keilmuan.

Jakarta, NU Online

Nahdliyin terus menyebar ke berbagai bidang, tak terkecuali sains dan teknologi. Hal itu ditempuh tanpa meninggalkan latar belakangnya sebagai warga NU yang tetap mempelajari bidang agama.


Pelaksana tugas Kepala Pusat Data, Teknologi, dan Informasi (Pusdatin) Kemendikbud M. Hasan Chabibie menyampaikan bahwa penting untuk menghubungkan disiplin keilmuan untuk melahirkan kemaslahatan. Pilihannya terjun pada dunia teknologi didasarkan atas pandangan ayahnya yang melihat kekosongan warga NU di bidang itu.


“Keilmuan saling berkolaborasi dengan pendekatan teknikal lebih mampu dipahami masyarakat,” katanya saat diskusi dengan teman Santri, Sains, dan Teknologi: Menuju 100 Tahun Nahdlatul Ulama, pada Sabtu (6/2).


Mengingat latar belakangnya di bidang teknologi, Hasan juga menyampaikan bahwa teknologi bisa menjadi jembatan untuk peningkatan kualitas dan kompetensi masyarakat Indonesia. Sebab, dengan itulah, masyarakat dapat mengakses berbagai informasi yang dibutuhkannya.


“Cara paling cepat dan efisien untuk melakukan proses penyamarataan, peningkatan kualitas adalah sentuhan teknologi,” ujar birokrat yang juga Plt. Ketua Umum Mahasiswa Ahlut Thariqah an-Nahdliyyah (Matan) itu.


Menurutnya, percepatan infrastruktur teknologi di Indonesia dapat membuat 68 juta pelajar memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses ilmu pengetahuan, informasi beasiswa, bisa berdiskusi secara tatap maya.

 

“Pada akhirnya bisa saling bertukar pengetahuan dan pengalaman, berkolaborasi dan bergandengan tangan,” katanya.


Sementara itu, Sekretaris Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Belanda Fahrizal Yusuf Affandi menyampaikan bahwa memang sejak kecil sudah menggemari sains, meski pengajian juga diikutinya sepulang sekolah hingga malam tiba di sebuah pesantren dekat rumahnya.


Pilihannya untuk menekuni bidang sains, khususnya mengenai fisiologi pascapanen, bukan tanpa alasan. Ia mendapat informasi dari ayahnya perihal kebesaran para ulama terdahulu yang juga ahli di bidang-bidang sains, bahkan sebagai begawannya, seperti Al-Khawarizmi, Al-Biruni, Al-Farabi, hingga Ibnu Sina.


Apalagi ia mendengar cerita mengenai perusakan Baghdad sebagai kota ilmu saat itu oleh tentara Mongol, hingga kemudian sungai Efrat dan Tigris berubah menjadi hitam karena buku-buku yang dibuang ke sana. “Itu membakar semangat saya untuk kemudian memantanpkan diri untuk memilih masuk SMA, masuk IPA, masuk jurusan teknologi pertanian,” katanya.


Sementara itu, Anggota Ikatan Ilmuan Indonesia Internasional Alfian Helmi melihat bahwa sebagaimana keilmuan pesantren yang mementingkan sanad sebagai dasar otoritasnya, keilmuan sosial yang ditekuninya juga demikian.


Doktor di bidang Human Sciences dari Universitas Hokkaido Jepang itu menyampaikan bahwa bidang sosial mengharuskan adanya data sebagai basis pandangannya. “Berargumen sama siapapun berdialog ada prinsip sains yang bisa kita ambil. Datanya seperti apa,” katanya.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad