Nasional

Komnas Perempuan Sebut Kekerasan Seksual Rusak Tatanan Negara

Kam, 13 Januari 2022 | 17:30 WIB

Komnas Perempuan Sebut Kekerasan Seksual Rusak Tatanan Negara

Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor mengatakan bahwa kekerasan seksual adalah sesuatu yang dapat merusak tatanan negara. Kekerasan seksual bukan sekedar tindak pidana biasa. Hukum internasional mengkategorikan kekerasan seksual sebagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.

 

“Ketika generasi perempuan hancur, dampaknya pada negara bukan kepada individu korban tetapi dampaknya sangat luas dan mengkhawatirkan,” katanya kepada NU Online, Kamis (13/1/2022).


“Kekerasan seksual dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan karena korban kejahatan ini dirusak harkat kemanusiaannya,” imbuhnya.


Ia menuturkan, para ahli hukum internasional dan pegiat HAM, serta hak perempuan di dunia melihat berbagai perkembangan isu kekerasan seksual yang terjadi sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Mereka bersepakat, kekerasan seksual, terutama pemerkosaan, masuk ke dalam pelanggaran hak asasi manusia berat.


“Penting melihat kekerasan seksual sebagai kejahatan yang sangat serius. Ketika berbicara soal kemanusiaan maka wajib bagi kita menghukumi pelaku dan memperjuangkan keadilan bagi para korban,” ujar Maria.


Dalam hal ini, tambah dia, Komnas Perempuan terus mendorong agar Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) segera disahkan oleh DPR.


Penting diketahui, beberapa kasus awal tahun 2022 menambah deretan panjang data kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan Indonesia. Hal tersebut kembali mengundang pertanyaan publik soal jaminan perlindungan dan keamanan bagi para korban.


Kegelisahan semakin nyata ketika kasus tersebut terjadi di berbagai tempat yang selama ini dianggap aman, seperti sekolah, perguruan tinggi, hingga pesantren. Korbannya pun beragam, mulai dari santri, mahasiswa, pegawai di lembaga negara, istri tahanan sampai difabel.


Berikut data kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi Indonesia awal tahun 2022:


Pertama, kasus pelecehan yang dilakukan aktivis mahasiswa universitas swasta di Yogyakarta berinisial MKA melibatkan tiga korban yang juga mahasiswi. Kasus ini terungkap pada Januari 2022.


Kedua, seorang tokoh agama di Kecamatan Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Kalimantan Selatan (Kalsel), diduga mencabuli 11 perempuan. Kasus ini dilaporkan pada Januari 2022.


Ketiga, awal tahun 2022, dugaan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen H pada mahasiswi pada sebuah universitas negeri di Surabaya saat bimbingan skripsi terungkap.


Dilihat dalam laporan Komnas Perempuan per 27 Oktober 2021, sepanjang 2015-2020, sebanyak 51 aduan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang diterima. Dalam laporan itu, Komnas Perempuan mengungkap bahwa kasus kekerasan seksual paling banyak terjadi di universitas dengan angka 27 persen.


Menyusul angka 19 persen terjadi di pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam, 15 persen terjadi di tingkat SMU/SMK, 7 persen terjadi di tingkat SMP, dan 3 persen masing-masing di TK, SD, SLB, dan pendidikan berbasis agama Kristen.


Untuk pelaku kekerasan seksual yaitu sebanyak 15 persen dilakukan oleh kepala sekolah (8 kasus), 43 persen dilakukan oleh guru/ustadz (22 kasus), 19 persen oleh dosen (10 kasus), 11 persen oleh peserta didik lain (6 kasus), 4 persen oleh pelatih (2 kasus), dan 5 persen oleh pihak lain (3 kasus).


Kasus kekerasan seksual di universitas umumnya diadukan terkait penggunaan relasi kuasa dosen sebagai pembimbing skripsi dan pembimbing penelitian dengan modus mengajak korban untuk keluar kota, melakukan pelecehan seksual fisik dan non fisik di tengah bimbingan skripsi yang terjadi baik di dalam atau di luar kampus.


Kekerasan seksual di lingkungan pesantren memiliki ciri khas dibandingkan kekerasan seksual di lembaga pendidikan yang lainnya, antara lain pemaksaan perkawinan, memanipulasi santri bahwa telah terjadi perkawinan dengan pelaku, memindahkan ilmu, akan terkena azab, tidak akan lulus, dan hafalan akan hilang. Kerentanan terjadi dalam satu kasus terhadap santri yang belum membayar biaya pendidikan.


Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Muhammad Faizin