Nasional

Anita Wahid Pertanyakan Kealpaan RUU TPKS di Sidang Paripurna

Jum, 17 Desember 2021 | 18:00 WIB

Anita Wahid Pertanyakan Kealpaan RUU TPKS di Sidang Paripurna

Deputi Direktur Public Virtue Research Institute (PVRI), Anita Wahid. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Deputi Direktur Public Virtue Research Institute (PVRI), Anita Wahid, mempertanyakan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang batal masuk dalam Rapat Paripurna DPR RI masa persidangan 2021-2022.


“Indonesia sedang darurat kekerasan seksual. Seharusnya keberadaan payung hukum yang lebih komprehensif untuk dapat melindungi korban dan penyintas menjadi prioritas DPR,” katanya kepada NU Online, Jumat (17/12/2021).


Ia menilai, aktor-aktor legislatif tersebut tidak memiliki keberpihakan dan komitmen untuk melindungi korban maupun penyintas kekerasan seksual. Apalagi, diketahui bahwa Badan Musyawarah (Bamus) untuk RUU tersebut tidak hadir dalam paripurna.


“Saya mengecam keteledoran para anggota dewan yang terhormat. Belum ada alasan mengapa mereka tidak hadir di rapat itu,” ujar Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) itu.


Bagi dia, jalan terjal untuk menciptakan keadilan bagi para korban dan penyintas semakin berat dengan kegagalan DPR mengesahkan RUU TPKS. Situasi ini membuat setiap orang mempertanyakan komitmen para pembuat kebijakan dalam menciptakan solusi perwujudan ruang aman dan perlindungan bagi warga negaranya.


“Tidak adanya perlindungan yang cukup dan pendampingan yang memadai bagi para korban, menggambarkan bahwa negara gagal menciptakan ruang aman bagi warga negaranya,” tutur pemilik nama lengkap Anita Hayatunnufus itu.


Angka Kekerasan Seksual 
Menurut Anita, berdasarkan catatan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), terjadi kenaikan kasus kekerasan pada perempuan.


“Yaitu, sebanyak 8.800 kasus didapati Kementerian PPA di 2019, lalu naik jadi 8.600 kasus pada 2020 dan 8.800 per November 2021,” ungkap putri ketiga Gus Dur ini.


Ia menambahkan, sebanyak 39 persen kasus adalah kekerasan fisik, 29,8 persen kekerasan psikis, dan 11,3 persen kekerasan seksual.


“Ini selaras dengan data Komnas Perempuan. Disebutkan, ada kenaikan dua kali lipat pengaduan kekerasan seksual pada perempuan yang mereka terima sepanjang tahun ini dibanding 2020,” ungkapnya.


“Lonjakan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa layanan pendamping yang ada saat ini tak bisa menangani semua aduan,” pungkas Anita Wahid.


Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Musthofa Asrori