Nasional

Komunitas Hijrah, Murni Faktor Agama atau Sekadar Cari Jodoh?

Rab, 3 Februari 2021 | 08:00 WIB

Komunitas Hijrah, Murni Faktor Agama atau Sekadar Cari Jodoh?

Video kajian bergaya vlog serta mobilisasi figur publik juga menjadi pilihan sebagai upaya agar lebih dekat dengan masyarakat.

Jakarta, NU Online
Pola keberagamaan di era masa kini semakin beragam. Persebaran dakwahnya pun kuat melalui ruang-ruang maya. Instagram sebagai sebuah media sosial yang banyak digunakan kaum milenial dinilai menjadi sarana paling tepat dalam menyebarkan dakwah. Aneka gambar dengan kekhasan model dan konten mewarnai cara pandang keberagamaan kawula muda sekarang.


Komunitas hijrah kontemporer di Indonesia saat ini memenuhi ruang-ruang tersebut. Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) melihat ada dua tipologi, yakni konservatif dan islamis. Hal tersebut merupakan hasil dari penelitian mengenai Tren Keberagamaan Gerakan Hijrah Kontemporer yang diluncurkan pada Senin (1/2).


Penelitian ini dilakukan pada lima komunitas, Pemuda Hijrah Shift Bandung, Kajian Musyawarah Jakarta, Yuk Ngaji Jakarta, The Strangers Al-Ghuroba Jakarta, dan Terang Jakarta. Hasilnya menunjukkan bahwa strategi penyebaran ide mereka dilakukan dengan menggunakan media sosial yang mengikuti selera pengikut, seperti ‘gelombang’ Korea, skateboard di komunitas Shift, hingga tentang pengharaman musik di Ghuroba. Bahkan, pengajian mereka pun tidak biasa, disampaikan dengan gaya training motivasi dan digelar di ballroom hotel atau alam.


Selain itu, penggunaan bahasa Inggris yang lebih sering juga mendekatkan dengan anak muda. Pemanfaatan grup daring dan membangun aplikasi hingga memanfaatkan hari besar untuk kegiatan keagamaan pun dilakukannya.


Sampai cara berpakaian yang sesuai dengan keyakinan mereka tetapi tetap kekinian pun ditekankan. Video kajian bergaya vlog serta mobilisasi figur publik juga menjadi pilihan sebagai upaya agar lebih dekat dengan masyarakat.


Komunitas hijrah, menurut penelitian tersebut, dapat dikatakan berhasil dalam menjaring pengikut dari kalangan muda milenial dari beragam kelas sosial. Hal ini karena kemampuan komunitas untuk menggunakan cara-cara dakwah non-konvensional di antaranya dengan memaksimalkan penggunaan media sosial, cara komunikasi ala anak muda, dan kemampuan mengikuti dan merespon tren (gaya hidup dan isu) yang berkembang.


Direktur PPIM Jakarta Ismaturopi menyampaikan bahwa penelitian ini dilakukan dalam rangka memotret perubahan pola keberagamaan. Pasalnya, 15 tahun terakhir ada geliat perubahan pola keberagamaan, terutama di kalangan pemuda.


Pada tahun ‘80-an ada beberapa gerakan yang relatif hampir sama tetapi memiliki kecenderungan lebih politis dan melakukan perlawanan diam terhadap hegemoni negara. Sementara gerakan anak muda ‘90-an munculnya gerakan pengajian eksekutif seperti Paramadina.


Adapun pada kurun selanjutnya, ia melihat gerakan baru. Nomenklatur unik hijrah digunakan sebagai istilah untuk gabungnya mereka pada suatu kelompok tertentu. Konsep hijrah lebih dekat konversi internal.


Rekomendasi
Penelitian itu merekomendasikan beberapa hal. Pertama, mendorong Kementerian Agama RI untuk memaksimalkan potensi jaringan penyuluh agama dan da’i-da’i muda lokal dengan memberikan bekal cara dakwah yang menyasar generasi muda dengan mempromosikan nilai-nilai moderasi beragama; dan memperluas fungsi penyuluh untuk membina tidak hanya komunitas luring, menjadi komunitas daring.


Kedua, meningkatkan peran Kementerian Agama RI dalam memfasilitasi ruang perjumpaan antara kementerian, komunitas hijrah, MUI, organisasi Islam mainstream (seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama), dan kelompok intra agama, untuk membangun kesepahaman agar tercipta kehidupan yang harmonis di tengah heterogenitas pemahaman keberagamaan.


Ketiga, mendorong Kementerian Agama RI, dalam hal ini Bimas Islam untuk menyiapkan modul atau panduan umum untuk para da'i muda yang menyuarakan keislaman dan keindonesiaan yang berbasis pada nilai-nilai moderat dengan metode partisipatoris dan responsif terhadap perkembangan dunia digital.


Selanjutnya, mendorong peran masyarakat sipil yang digawangi organisasi kemasyarakatan seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, al-Washliyah, Mathla'ul Anwar, Nahdlatul Wathan dan lain-lain perlu mengimbangi narasi keagamaan yang moderat di ruang publik dengan mempertimbangkan spirit anak muda.


Penguatan Penyuluh Agama
Menanggapi hasil penelitian PPIM tersebut, Direktur Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin menyampaikan bahwa kontestasi pemahaman agama memang terjadi dan akan terus terjadi sejak masa-masa awal Islam sampai seterusnya dengan menempuh cara-cara yang berbeda tergantung konteksnya.

 

“Gerakan Hijrah ini interpretasi agama yang coba dipahami kelompok tersebut,” katanya.


Kelompok Hijrah, terlepas dari konten dakwahnya, setidaknya berangkat dari kecintaan terhadap agama. Mereka juga berupaya menanamkan militansi agama. Hal ini, menurutnya, patut diapresiasi mengingat semua kelompok memiliki tujuan yang sama, yakni ingin memaknai dan mengamalkan agamanya dalam kehidupan kesehariannya. Namun pada praktisnya, memang terjadi beragam perbedaan pemaknaan.


“Dalam konteks Indonesia, kita harus saling memahami substansi pemikiran. Bisa saling menghargai dan seterusnya,” ujarnya.


Memang terjadi kontestasi perebutan otoritas di ruang publik. Guru Besar UIN Alauddin Makassar itu melihat kelompok hijrah ini telah berhasil merebut secara parsial otoritas keagamaan di ruang publik. “Pengaruhnya saya kira cukup besar,” ujarnya.


Menurutnya, hal ini merupakan tantangan baru bagi Kementerian Agama dalam pengembangan dakwah di Indonesia. Ia mengakui penyuluh agama yang berjumlah 50 ribu itu memang harus bertransformasi.


“Saya kira memang perlu ada transformasi secara serius terhadap penyuluh kita terhadap dinamika perubahan sosial yang begitu cepat terjadi. Tentu perlu ada respons berkualitas dari penyuluh agama kita,” katanya.


Kamaruddin menegaskan bahwa ceramah tidak hanya disampaikan kepada masyarakat pedesaan, tetapi juga kepada urban kelas menengah atas dan kelompok milenial dan itu membutuhkan pola dan instrumen komunikasi yang lebih efektif.


“Saya kira teman-teman Hijrah ini telah memberikan contoh bagus yang harus diikuti para mubaligh, ulama,” katanya.


Komunitas Hijrah Sarana Menemukan Jodoh
Merespons hasil penelitian itu, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Noorhaidi Hasan mengira bahwa tergabungnya kawula muda sekarang pada komunitas tersebut bukan tidak mungkin karena keinginan menemukan jodoh. Pasalnya, Komunitas Hijrah memberikan kemudahan dalam hal itu, sedangkan dalam dunia pada umumnya, perihal jodoh tentu sangat sulit karena membutuhkan beragam hal yang perlu disiapkan.


Dugaan ini diamini Direktur Yayasan Rumah Kita Bersama Lies Marcoes Natsir. Sebab, hal ini beririsan dengan kampanye yang mereka lakukan melalui tagar di media sosial, seperti melarang pacaran dan ajakan segera menikah.


“Makanya ada 'Indonesia tanpa pacaran, dihalalkan saja segera'. Sesuatu yang memang menjadi problem pada kelompok milenial perkotaan. Itu menjadi motivasi internal mereka,” katanya.


Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) H Asrorun Ni’am Sholeh melihat bahwa ada tren spiritualitas tinggi ketika akses pendidikan memadai, ekonomi lebih baik, maka kemudian ada kehausan dalam diri kaula muda itu di bidang keagamaan. “Ini fakta di tengah masyarakat kita. Rata-rata anak hijrah sudah bosen nakal, pengen taat. Itu disalurkan dalam forum keinginan spiritualitas,” katanya.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Muhammad Faizin