Nasional RISET DIKTIS

Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Sufistik di MTs Al-Qodiri I dan Nuris 1 Jember

Ahad, 27 Oktober 2019 | 08:30 WIB

Ahmad Rosidi, mahasiswa STAI Al-Qodiri Jember, Jawa Timur pada tahun 2018 lalu melakukan penelitian berjudul Konstruksi Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-nilai Sufistik di Islamic Boarding School: Studi Multikasus di MTs Al-Qodiri I dan Nuris 1 Jember.
 
Penelitian yang didukung oleh Dirjen Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Pendidikan Islam (Pendis) Kementerian Agama RI menghasilkan temuan bahwa di kedua lembaga, yakni MTs Al-Qodri 1 dan Nuris 1 Jember, sudah lama melaksanakan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai sufistik. Kedua lembaga pendidikan juga memiliki karakteristik yang berbeda dalam menerapkannya. Jadi, pendidikan karakter berbasis nilai-nilai sufistik di kedua lembaga tersebut sangat tepat untuk dijadikan objek penelitian.
 
Penelitian sejatinya didasari bahwa keberadaan arus radikalisme agama ditengerai masih terjadi di mana-mana. Keadaan ini tidak menimpa di luar negeri saja, tapi juga sudah lama terjadi di Indonesia terutama pada waktu Bom Bali tahun 2001.
 
Aksi radikalisme agama ini terulang kembali pada hari Jumat tanggal 15 Januari 2016. Pada hari itu, terjadi pengeboman di Jalan MH Thamrin dengan menewaskan dan melukai beberapa orang Indonesia dan orang asing yang ada di sekitar tempat tersebut.
 
Ironisnya lagi, hasil penelitian Faracha Ciciek di tujuh kota, yaitu Padang, Jakarta, Pandeglang, Jember, Cianjur, Cilacap, dan Yogyakarta menunjukkan bahwa para guru agama Islam dan siswanya mempunyai sikap intoleransi beragama. Sebesar 13 persen siswa mendukung aksi radikalisme agama dan 14 persen yang mendukung cara Imam Samudra.
 
Sedangkan Forum Kerukunan Umat Beragama Cilacap mengangkat temuan tentang indikasi penggantian Pancasila dengan konsep Khilafah yang menyebar di 14 sekolah di kabupaten tersebut. Dengan demikian, arus radikalisme di Indonesia semakin berkembang dan masuk ke lembaga pendidikan, sehingga dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.
 
Data di atas semakin memperkuat berbagai hasil penelitian yang menunjukkan bahwa aksi radikalisme berangkat dari proses pendidikan termasuk juga dalam pendidikan nonformal (masyarakat). Dalam penelitian Sarwono, sebut peneleiti, disebutkan bahwa para pelakur teror pada awalnya mereka bergabung dengan kelompok dakwah Islam (pendidikan nonformal) yang ekstrem. Ketika masuk dalam kelompok belajar tersebut, mereka direkrut, pendidik atau ustadznya memberi ilmu tentang pemahaman ajaran Islam dan penanaman nilai atau pembentukan karakter yang ekstrem juga. 
 
Dalam proses pembelajaran tersebut, ustadz menggunakan metode doktrinasi untuk mempermudah proses pembelajaran mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkannya. Nasir Abbas (mantan aktivis Jamaah Islamiyah) menjelaskan dalam proses pendidikan tersebut terdapat beberapa tahap yang harus dilalui. Adapun tahapan-tahapan pembelajaran yang dilakukan adalah, pertama, tabligh atau penyampaian pesan dan naihat secara umum, seperti berbentuk tabligh akbar, kegiatan pengajian, ekstra kurikuler.
 
Kedua, taklim atau transfer of knowledge tentang ajaran Islam yang ekstrem dan transfer of value tentang pembentukan karakter yang penuh kebencian dan penggunaan kekerasan terhadap orang yang dianggap musuh. Ketiga,  atau transfer of attitude berupa pelatihan atau praktik melakukan kekerasan.
 
Berikutnya, tamhish atau seleksi terhadap para peserta didik atau calon pelaku teror yang sudah melalui proses pembelajaran. Kelima, baiat yaitu melaksanakan baiat sebagai syarat menjadi anggota. Jadi, proses pembelajaran untuk menciptakan generasi teroris dilakukan secara sistematis.
 
Dari kenyataan tersebut yang sangat membahayakan eksistensi Pancasila dan kehidupan berbangsa dan bernegara, terdapat beberapa cara untuk mengatasinya antara lain dengan menggunakan pendekatan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai sufistik. Pendidikan seperti ini berkaitan dengan sisi spiritualitas yang terpusat pada nilai agung yaitu nilai ilahiyah.
 
Manusia akan lebih merasa terharu atau bahagia manakala segi sufistiknya tersentuh atau dikembangkan dalam proses pendidikan, karena kecenderungannya yang lebih dominan mengikuti sifat-sifat dan nilai-nilai ilahiyah.
 
Dengan kata lain, orang yang memiliki spiritulitasnya tinggi, maka dalam melaksanakan setiap pekerjaannya, ia merasa ada yang mengawasi sekalipun dari segi lahiriyah tidak ada yang mengawasi, sehingga akhirnya dia akan menjadi hamba yang membawa rahmat bagi semesta alam.
 
Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya yang berjudul Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Cetakan ke-33, tahun 2007 mengungkapkan spiritualitas sebagai Spiritual Ultimate Self Actualization atau yang kita kenal dengan kekuatan ihsan
 
Di samping itu, pendidikan karakter berbasis nilai-nilai sufistik akan membentuk jiwa yang berkarakter terhadap peserta didik. Darmana dkk dalam bukunya, Pandangan Siswa terhadap Internalisasi Nilai Tauhid melalui Materi Termokimia menjelaskan bahwa tingkat ketercapaian tujuan pendidikan nasional masih belum diharapkan dengan baik terutama dalam pencapaian tujuan ketauhidan. Beberapa kasus dekadensi moral menunjukkan berbanding terbalik antara upaya menumbuhkembangkan kemampuan aspek knowledge atau kognitif dengan iman dan takwa kepada Allah Swt serta ahlak mulia, bahkan ada kecenderungan, keruntuhan moral lebih sering terjadi pada masyarakat yang berpendidikan. 
 
Sementara itu, Atmono dalam karyanya berjudul Pembelajaran Ilmu Tauhid di Majelis Mubāḥaṡah Desa Pecangakan Kecamatan Comal Kabupaten Pemalang: Hasil Penelitian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan tahun 2016, menyatakan bahwa pendidikan karakter berbasis nilai-nilai sufistik masih mendapatkan perhatian yang sangat kurang, dengan adanya anggapan bahwa ilmu ini hanya sebagai pelengkap, kurang adanya variasi baik dari sisi pendekatan, metode, maupun materi.
 
Untuk mengatasi masalah ini, pendidikan karakter berbasis nilai-nilai sufistik harus dioptimalkan, karena pendidikan tersebut memiliki peran yang strategis bagi perkembangan hidup peserta didik. Apabila pendidikan tersebut berhasil maka peserta didik akan mengembangkan potensi karakternya sehingga mereka akan mengatasi berbagai problematika. 
 
Saefullah dalam bukunya Pengantar Filsafat/ (Bandung: Refika Aditama, 2004,  menjelaskan bahwa peserta didik yang sudah mengikat dirinya dengan penuh iman dan takwa bisa menjadi pertahanan yang sangat kuat dalam menghadapi setiap beberapa masalah sekaligus tantangannya, sehingga keadaan ini akan meningkatkan imannya semakin bermutu. Jadi, pendidikan karakter berbasis nilai-nilai sufistik akan membentuk karakter peserta didik untuk mengatasi berbagai krisis karakter yang terjadi.    
 
Sebagaimana penjelasan di atas, ternyata pendidikan karakter berbasis nilai-nilai sufistik diterapkan di lembaga pendidikan, yaitu di MTs Al-Qodiri I dan Nuris 1 Jember. Kedua lembaga tersebut melaksanakan pembelajaran pendidikan karakter berbasis nilai-nilai sufistik sejak lembaga pendidikan tersebut berdiri. 
 
Meskipun kedua lembaga tersebut memiliki materi yang hampir sama tapi keduanyanya memiliki perbedaan salah satunya pada pendalaman materi dan pendekatan yang digunakan.
 
Akhmad Fauzan selaku guru mata pelajaran Akidah-Akhlak MTs Al-Qodiri I Jember mengatakan bahwa rumusan nilai-nilai sufistik yang diinternalisasikan dalam peserta didik terintegrasi dalam kurikulum, baik di dalam setiap mata pelajaran, model atau pendekatan di luar proses pembelajaran dalam kelas dengan mengadakan program kegiatan ekstra kurikuler atau kegiatan situasional, maupun model yang berupaya untuk menciptakan budaya yang berbudi lugur dan pembiasaan nilai dalam semua kegiatan dan kondisi di MTs. Al-Qodiri I Jember. Di antara mata pelajaran yang dipelajari dan diintegrasikan dengan nilai-nilai sufistik merupakan mata pelajaran Akidah-Akhlak dan Qur’an-Hadits. 
 
Sedangkan dalam model pembudayaan dan pembiasaan nilai dilakukan dengan mengaji bersama sebelum masuk ke kelas, berdoa sebelum memulai dan selesai pembelajaran di kelas, solat berjamaah bersama, dan sebagainya. Setiap kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler dan model pembiasaan tersebut terdapat evaluasi yang dilakukan seperti dengan berbentuk pengamatan dan check list pembiasaan beribadah setiap hari.  
 
Adapun di MTs Nuris 1 Jember, M Abduh sebagai guru Al-Qur’an Hadits menjelaskan bahwa di MTs Nuris I Jember, rumusan nilai-nilai sufistik yang ditanamkan pada peserta didik dirumuskan dari aswaja terutama dari asmaul husna, sehingga akhirnya mengkrucut menjadi enam nilai tersebut yaitu senyum, salam, sapa, sopan, santun, dan sanjung. 
 
Integrasi nilai-nilai sufistik tersebut dalam kurikulum diimplementasi dalam semua mata pelajaran yang dipelajari, model yang ada di luar kegiatan pembelajaran dengan melaksanakan berbagai kegiatan ekstra kurikuler atau kegiatan insidental, maupun model pembudayaan dan pembiasaan nilai dalam seluruh aktivitas dan suasana di MTs Nuris 1 Jember. 
 
Kegiatan ekstra kurikuler atau kegiatan insidental berbentuk kegiatan sufistik seperti istighasah dan dzikir bersama. Sedangkan dalam model pembudayaan dan pembiasaan nilai diaplikasikan ketika bersama-sama berdoa sebelum dan sesudah proses pembelajaran, solat berjamaah bersama di masjid.  
 
 
Penulis: Husni Sahal
Editor: Kendi Setiawan