Nasional RISET BALITBANG KEMENAG

Saatnya Perpustakaan Kampus UIN Berbenah 

Sen, 7 Oktober 2019 | 06:15 WIB

Saatnya Perpustakaan Kampus UIN Berbenah 

Ilustrasi perpustakaan

Buku adalah bunga, dan perpustakaan adalah tamannya. Bunga-bunga akan terlihat semakin indah jika tamannya dirawat dan dijaga dengan baik. Sebaliknya, bunga-bunga akan menjadi layu jika tamannya dibiarkan begitu saja tanpa pemeliharaan.
 
Perumpamaan di atas sangat jelas menggambarkan bahwa perpustakaan harus selalu dijaga dan dirawat dengan baik. Selain itu perpustakaan harus juga mengikuti perkembangan zaman dan teknologi kekinian. Tujuannya agar  perpustakaan mudah diakses oleh semua pengunjung. Pengunjung pun akan menjadikan perpustakaan sebagai rumah kedua yang nyaman. Demikian juga kalangan pelajar atau mahasiswa menganggap perpustakaan sebagai tempat yag mengasyikkan untuk belajar, sehingga mereka mau berlama-lama di dalam perpustakaan. 
 
Sering kali perpustakaan terlihat bagaikan ruang sunyi, bahkan berkesan angker, hanya dihuni oleh rak-rak kayu yang tingginya menjulang sampai ke atap gedung. Bertumpuk pula buku-buku berdebu yang entah kapan terakhir kalinya dibaca. Jadi, bagaimana harusnya perpustakaan berbenah, pembenahan seperti apa, atau pada bagian mana yang harus dibenahi oleh perpustakaan? 
 
Mengenai hal tersebut, Agus Iswanto, Moch Lukluil Maknun, Mustolehudin, Umi Masfiah, Subkhan Ridlo, Roch Aris Hidayat, para peneliti dari Balai Litbang Agama (BLA) Semarang Badan Litbang dan Diklat Kemenag, pada tahun 2018 melakukan penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi infrastruktur literasi dan pemanfaatannya oleh mahasiwa, serta pola praktik literasi mahasiswa. 
 
Dalam penelitian yang kemudian dilaporkan dengan judul Praktik Literasi Mahasiswa UIN DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Selatan, Agus dan kawan-kawannya menemukan dua penting yang harus digarisbawahi oleh perpustakaan kampus, terutama dalam hal ini kampus Universitas Islam Negeri (UIN). Pertama, layanan literasi dalam berbagai perpustakaan tampak telah mengadaptasi perkembangan teknologi informasi terkini, tetapi pemanfaatannya belum maksimal.
 
Perpustakaan baru bisa memenuhi literasi mahasiswa sebagai motivasi ekstrinsik dan perpustakaan kampus belum banyak menyediakan koleksi bacaan yang menyenangkan sesuai selera generasi milenial, seperti cerita-cerita fiksi. Kampus juga belum mengintegrasikan literasi informasi dalam kurikulum perguruan tinggi mereka. Kampus dan perpustakaan juga belum memproduksi dan mendistribusikan ilmu pengetahuan melalui media online yang sesuai dengan selera generasi milenial.
 
Akan tetapi, sebut peneliti, mahasiswa memiliki sikap yang positif terhadap literasi, baik literasi membaca maupun menulis. Sayangnya, sikap positif tersebut belum diwujudkan dalam perilaku literat. Ketersediaan ragam bacaan yang disenangi mahasiswa sebagai generasi milenial, beban tugas kuliah dan bayang-bayang tantangan karir di masa depan, adalah beberapa yang memicu perilaku tidak literat ini.
 
Akhirnya, perilaku tidak literat ini mendorong mahasiswa jatuh pada budaya plagiat. Padahal, sebenarnya, Meskipun demikian, potensi pengembangan praktik literasi tetap ada. Hal ini antara lain karena terdapatnya komunitas-komunitas di sekitar mahasiswa dan kampus yang mempraktikan literasi, baik yang berupa komunitas pers mahasiswa, komunitas diskusi dan kepenulisan maupun mahasiswa mandiri yang mengembangkan minat kepenulisan. Komunitas-komunitas ini dapat menjadi peer group (kelompok sebaya) yang akan menjadi rujukan bagi mahasiswa-mahasiswa lain, sehingga dapat menularkan kesadaran literasi. 
 
Dari temuan tersebut, peneliti memberi masukan, bahwa perlu adanya kebijakan yang sistematis dan tidak artifisial untuk mengembangkan literasi di kampus. Pengembangan literasi itu menurut peneliti dan tim dapat dilakukan dengan strategi gerakan ganda (double movement), yakni strategi atas-bawah (top-down), dan bawah-atas (bottom-up).
 
Kebijakan yang bersifat top-down adalah yang bersifat sistematik; meliputi peningkatan layanan infrastruktur literasi (perpustakaan) dan kurikulum yang mengintegrasikan keterampilan literasi abad 21. Sedangkan kebijakan yang bersifat bottom-up adalah kebijakan-kebijakan yang lebih berbasiskan pada komunitas-komunitas literasi yang telah ada di kampus, yakni penguatan komunitas literasi mahasiswa. 
 
Secara rinci, Agus dan kawan-kawannya memberikan empat poin rekomendasi yang harus diperhatikan. Pertama, kampus yang didukung pemerintah, perlu mengembangkan infrastrukur literasi melalui wadah cyber literacy dengan perpustakaan universitas sebagai leading sector.
 
Kedua, perlu memasukan literasi informasi sebagai salah satu mata kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN).  Ketiga, perlu diversifikasi metode produksi dan distribusi ilmu pengetahuan yang selaras dengan konteks generasi milenial, yakni cepat, mudah, bergaya (stylist), dan tidak membosankan.
 
Keempat, perlu dilakukan program pembinaan komunitas literasi kampus, atau pengembangan literasi mahasiswa melalui mentor sebaya, yakni para aktivis komunitas literasi menjadi mentor pengembangan literasi antar sesama temannya. Hal ini penting, karena komunitas mahasiswa yang terkait dengan literasi adalah modal sosial bagi pengembangan gerakan literasi di kampus.  

Penulis: Kifayatul Ahyar
Editor: Kendi Setiawan