Nasional RISET DIKTIS

Korelasi Nash dan Maqashid al-Syariah dalam Transformasi Ekonomi secara Fiqhiyah

Jum, 25 Oktober 2019 | 01:30 WIB

Dalam dinamika kehidupan sehari-hari, masyarakat Muslim dihadapkan pada problematika yang tak terbatas, dan menuntut harus disikapi dengan baik dan benar. Sebagai umat beragama, kalangan Muslim dalam menyikapi segala bentuk permasalahan hidupnya, tentu tidak terlepas dari ajaran-ajaran (nash) agama itu sendiri. Sementara itu, sebagaimana mafhum, ajaran keagamaan yang tertuang dalam bentuk nash (baik dalam Al-Qur'an dan hadits) sangat terbatas.

Keterbatasan nash yang telah final itu, tidak dapat men-cover seluruh bentuk kebutuhan dan tuntutan sehari-hari masyarakat Muslim era ini. Maka dari itu, 'paradigma transformatif' memberi satu tawaran pendekatan baru dalam memahami agama. Yaitu, pola pandang 'kritis-emansipatoris' yang mencoba men-'transformasi'-kan agama pada setiap lini kehidupan sehari-hari manusia, termasuk perihal ekonomi yang akan akan dibahas dalam esai ini. Pendekatan ini mempertimbangkan hubungan timbal balik antara nash dan maqashid al-Syariah.

Muhyar Fanani, Nur Hasyim, dan Endang Supriadi dalam penelitiannya yang berjudul Implementasi Fikih Transformatif pada Komunitas Petani mencoba mengambarkan secara utuh tentang pola pandang transformatif terhadap agama dalam bidang perokonomian Islam. 

Pada penelitian yang dilakukan berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018, mereka menyebutkan bahwa secara keseluruhan tata ekonomi Islam mesti berpijak pada ajaran-ajaran Islam yang disarikan dari nash itu sendiri. Menurut mereka, perekonomian Islam boleh saja dikembangakan dengan kreatif inovatif selama tetap berpedoman pada al-daruriah al-khamsah serta demi li al-mashlah al-ammah. Dalam hal ini, nilai-nilai yang harus dipertahankan adalah prinsip keadilan, keseimbangan, kebebasan, kasih sayang yang berjiwakan ajaran ketuhanan dan prinsip ekonomi yang merdeka serta terbebas dari pertentangan dan kepentingan yang sempit.

Lebih tegas Muhyar Fanani, Nur Hasyim, dan Endang menuturkan bahwa ekonomi Islam bukanlah kapitalisme dan juga bukan pula sosialisme. Kapitalisme hanya menjadikan hak kepemilikan individual sebagai basis pembangunan ekonominya. Sehingga, setiap individu bebas melakukan aktivitas ekonomi. Maka secara sekaligus kepemilikan bersama tidak diakui. Sementara sosialisme menjadikan kepemilikan bersama sebagai basis pembangunan ekonominya. Akibatnya, setiap individu yang  memiliki kemampuan dan kreativitas tinggi  hampir tidak mendapat apresiasi tambahan. Menurut peneliti sistem yang demikian ini tentu sangat jauh dengan ajaran Islam.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, mereka mengemukakan bahwa perekonomian Islam berpijak pada prinsip tauhid, keimanan pada hari perhitungan, ketakutan pada Allah, pencarian ridha-Nya, pelaksanaan ajaran Islam yang semua itu membentuk pola hubungan masyarakat termasuk aktivitas ekonomi. Tata perekonomian Islam mengakui kepemilikan individu atas barang sebagaimana mengakui kepemilikan umum atau masyarakat atas barang.

Oleh karena itu, tata perekonomian Islam memberikan beberapa kewajiban bagi para individu yang kaya agar peduli pada masyarakat umum melalui kewajiban zakat, anjuran wakaf, anjuran membangun masjid dan fasilitas publis lainnya. Jika Marxisme meniscayakan adanya pertentangan antarkelas sosial, perekonomian Islam tidak mengenal itu; sebaliknya malah menganjurkan gotong-royong (at-ta’awun) semua anggota masyarakat.
 
Sebagai landasan teoritis atas bentuk pereknomian macam ini, Muhyar Fanani, Nur Hasyim, dan Endang Supriadi mengemukakan ada pola hubungan timbal balik antara nash dan maqashid al-syariah sebagai pijakan perhatiannya. 

Secara umum, umat Muslim tidak dapat dipisahkan dengan dua keterikatan. Pertama, dengan teks agama itu sendiri; dan kedua, dengan konteks dan permasalahan yang begitu rumit. Oleh karenanya, hal yang  mungkin dapat menjembatani antara keduanya adalah menghubungkan teks dengan maqasid al-syariah, sehingga didapati temuan-temuan hukum baru yang dapat mengatasi seabrek permasalahan yang rumit itu.

Asy-Syathibi menjelaskan secara rinci bahwa teori tersebut (fikih transformatif yang mencari titik temu antara nash melalui pendekatan maqashid) adalah dengan menggunakan penalaran induksi tematis. Untuk konteks Indonesia cara berpikir yang demikian itu telah digunakan oleh KH Sahal Mahfudz. Ini jelas terlihat, misalnya, saat KH Sahal memaknai sabilillah sebagai salah satu mustahiq al-zakat bukan sekedar perjuangan saat perang, namun perjuangan dalam arti luas baik dalam situasi perang maupun damai.

Cara berpikir fiqhiyah yang mengacu pada asy-Syathibi dan KH Sahal Mahfudz dengan teori maqashid inilah transformasi nash-nash agama akan menjadi mungkin untuk menyikapi segala permasahalan manusia hari ini. Yaitu, pola pandang yang berpegang pada substansi syariat bukan terjebak pada kulitnya. Sehingga, pada kesimpulannya akan membuat fiqih lebih responsif dengan tantangan masyarakat. 

Maka tak ayal kemudian, jika Muhyar Fanani, Nur Hasyim, dan Endang berkesimpulan bahwa dalam konteks ekonomi, harusnya masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia menerapkan sistem ekonomi pancasila. Sistem ekonomi yang memadukan terori Marxisme dan Sosialisme.
 
 
Penulis: Miatul Qudsia
Editor: Kendi Setiawan