Nasional

LBM PBNU Sebut Pembangkangan atas Maklumat Pemerintah soal Covid-19 sebagai Maksiat

Sel, 24 Maret 2020 | 01:10 WIB

LBM PBNU Sebut Pembangkangan atas Maklumat Pemerintah soal Covid-19 sebagai Maksiat

Dengan menekankan legalitas pelarangan, maka pembangkangan terhadap pemerintah adalah maksiat zhahiran bathinan (lahir dan batin).

Jakarta, NU Online
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) menyatakan, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan penundaan shalat Jumat, perkumpulan yang melibatkan massa banyak, dan sejumlah imbauan lain dalam pencegahan Covid-19. Pembangkangan atas imbauan pemerintah dapat dinilai sebagai bentuk maksiat.

Bendahara LBM PBNU KH Najib Bukhari mengatakan bahwa pelarangan pemerintah dan kewajiban untuk mematuhinya dalam konteks ini menjadi sangat penting untuk diperhatikan oleh masyarakat.

"Masyarakat harus memerhatikan imbauan pemerintah dan wajib mematuhinya. Larangan ini cukup kuat karena dimulai dengan kewenangan pemerintah mengambil kebijakan demi keselamatan orang banyak meskipun dengan melarang hal yang semula wajib," kata Kiai Najib Bukhari kepada NU Online, Senin (23/3) malam.

LBM PBNU menyatakan bahwa perkumpulan yang melibatkan banyak massa seperti menghadiri atau menyelenggarakan shalat Jum’at di zona merah sama halnya dengan melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri. Pandangan ini didasarkan pada keumuman firman Allah SWT Surat An-Nisa ayat 29, "Janganlah kamu membunuh dirimu. Sunguh Allah Maha Penyayang kepadamu."

LBM PBNU menilai ketaatan kepada pemerintah terlebih dalam situasi darurat seperti ini merupakan kewajiban. Sementara pada situasi darurat seperti ini, pemerintah mengeluarkan imbauan perihal penundaan acara dan ritual yang melibatkan banyak warga berdasarkan pertimbangan medis-kedokteran. Sedangkan secara umum, ketaatan kepada ulil amri atau pemerintah itu adalah wajib berdasarkan firman Allah SWT Surat An-Nisa ayat 59, "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu."

Dari ayat ini, LBM PBNU menyimpulkan bahwa dalam kasus darurat Corona ini, pembangkangan atas imbauan pemerintah adalah perbuatan dosa atau maksiat. Kemaksiatannya terletak pada pembangkangannya pada aturan pemerintah, bukan pada shalat Jumat atau acara perkumpulan yang melibatkan massa banyak. Sebab, shalat Jumat atau perkumpulan massa dan pembangkangan itu bukan merupakan dua hal yang saling mempersyaratkan.

Dengan logika demikian, sekiranya perkumpulan umat dalam shalat Jumat saja ditunda untuk sementara waktu, apalagi perkumpulan masyarakat pada acara-acara lain yang sifatnya sunnah dan mubah. Dengan demikian, di zona merah virus corona ini, segala aktivitas mubah yang melibatkan massa besar seperti tabligh akbar, munas, muktamar, haul, arisan, adalah haram li ghairih atau haram karena faktor ekternal.

“Sejauh ini ada sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa pembangkangan seperti itu haram zhahiran, la bathinan (atau lahir tidak batin),” kata Kiai Najib Bukhari.

Artinya, setiap orang boleh memiliki keyakinan sendiri dan tak percaya pada arahan para ahli kesehatan. Namun, sebagai warga negara ia terikat dengan apa yang diputuskan ulil amri. LBM PBNU mengutip Syekh Nawawi, "Ketika seorang ulil amri memerintah…perkara mubah, maka bila di dalamnya terdapat kemaslahatan publik, maka wajib dipatuhi." (Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zain: 112).

"Dengan menekankan legalitas pelarangan, maka pembangkangan terhadap pemerintah adalah maksiat zhahiran bathinan (lahir dan batin)," kata Kiai Najib Bukhari.
 

Pewarta: Alhafiz Kurniawan
Editor: Kendi Setiawan