Nasional

Lesbumi PBNU: 77 Tahun Merdeka, Sendi Kebudayaan Indonesia Masih Rentan

Sel, 23 Agustus 2022 | 17:30 WIB

Lesbumi PBNU: 77 Tahun Merdeka, Sendi Kebudayaan Indonesia Masih Rentan

Wakil Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PBNU, Habib Anis Sholeh Ba’asyin. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online

Wakil Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PBNU, Habib Anis Sholeh Ba’asyin mengungkapkan bahwa meskipun Indonesia telah merdeka selama 77 tahun, tetapi kebudayaannya masih rentan. Bahkan menurutnya tidak serius dipikirkan oleh para pengambil kebijakan.


“Bila memakai analogi keberanian menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dengan meninggalkan bahasa-bahasa daerah yang ada sebagai bahasa lokal, sampai saat ini kita belum pernah punya keberanian yang sama untuk menetapkan satu rancangan pakaian nasional yang baku. Tentu saja menjawab masalah ini adalah wilayah tugas negara, bukan pemerintah,” ujar Habib Anis, Senin (22/8/2022).


Menurut budayawan asal Pati, Jawa Tengah itu, simbol-simbol budaya Indonesia tidak cukup hanya dipamerkan saat ada hajatan-hajatan nasional seperti peringatan Hari Kemerdekaan setiap 17 Agustus. Tetapi perlu ada penegasan, bahwa simbol-simbol tersebut merupakan simbol budaya nasional, sehingga tidak lagi terkotak-kotak atas nama daerah.


“Dulu Soekarno, dengan ijtihad pribadi, dengan sadar memilih pakaian ‘barat’ dengan tambahan kopiah sebagai pakaian nasional kita, dan itu yang sampai 2017 menjadi konvensi kita,” kata Habib Anis.


Meski begitu, penggagas Ngaji Suluk Maleman itu tidak memungkiri bahwa upaya-upaya penegasan terhadap simbol-simbol budaya asli Indonesia sudah dilakukan Presiden Joko Widodo. Termasuk ketika menghadirkan dangdut koplo “Ojo Dibandingke”. Lagu tersebut dibawakan oleh penyanyi cilik asal Banyuwangi, Farel Prayoga.


Dia juga menerangkan bahwa tentu saja beragam reaksi dan penilaian masyarakat muncul terhadap penyisipan segmen dangdut koplo dalam upacara peringatan kemerdekaan di Istana Negara kemarin.


Pasalnya menurut Habib Anis, yang namanya upacara itu identik dengan ritus, ritual, dan seremoni yang sifatnya sakral atau suci dan khidmat.


“Dengan ditampilkan salah satu ikon budaya populer, yakni dangdut koplo, dan kegembiraan sebagian besar peserta untuk menari bersama hampir tanpa beban; seolah meruntuhkan tembok batas antara pemimpin dan rakyat; dan semuanya terserap dalam kegembiraan bersama dalam menikmati kemerdekaan,” ungkap Habib Anis.


Tapi, menurut dia, tentu saja tidak sesederhana ini masalahnya. Masih banyak persoalan mendasar di sekitar masalah ini yang harus dirumuskan jawabannya. Yang pertama kali harus kita ingat adalah sisipan dangdut koplo ini bukan terobosan pertama dalam upacara peringatan kemerdekaan kita.


"Pada tahun 2017 terobosan yang lain mulai ditradisikan, yakni penggunaan pakaian adat. Dan anehnya, reaksi yang muncul tidak seramai sekarang. Padahal menurut saya persoalannya jauh lebih substansial; terkait pakaian nasional,” jelasnya.


Pewarta: Fathoni Ahmad
Editor: Muhammad Faizin