Nasional

Lesbumi PBNU: Gerak Jalan HUT RI Dipadukan Tarian Hilangkan Kesan Militeristik

Ahad, 21 Agustus 2022 | 07:00 WIB

Lesbumi PBNU: Gerak Jalan HUT RI Dipadukan Tarian Hilangkan Kesan Militeristik

Wakil Ketua Lesbumi PBNU Anis Sholeh Baasyin. (Foto: dok. Flickr)

Kudus, NU Online
Berbagai macam cara masyarakat memeriahkan hari kemerdekaan Republik Indonesia (RI), termasuk dengan menggelar perlombaan-perlombaan. Salah satunya gerak jalan.


Namun, baru-baru ini sempat viral di media sosial beberapa peserta yang memodifikasi gerakan dengan menambahkan tarian-tarian. Wakil Ketua Lesbumi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Anis Sholeh Ba’asyin turut menyoroti hal ini dari kacamata budaya.


“Apa yang tidak berubah dari ekspresi budaya manusia? Hampir semuanya berubah. Bisa karena tantangan dan medannya yang berubah, ada yang karena kebutuhan menerobos kemapanan dan menciptakan ruang ekspresi baru,” ujarnya.


“Tapi ada juga yang karena kebosanan dan keinginan mengecap sensasi kebaruan dan keberbedaan,” tutur Habib Anis, sapaan akrabnya, saat dihubungi NU Online Ahad (20/8/2022).


Ia menduga, fenomena modifikasi gerak jalan itu disebabkan oleh dorongan untuk mencari sensasi baru. Gerak jalan yang dipadukan dengan tarian itu muncul karena ingin menekan kesan formal dan militeristiknya.


“Dengan begitu maka unsur hiburan dan pertunjukannya yang memang ingin ditonjolkan,” papar Habib Anis.


Habib Anis menganggap hal ini boleh saja dan wajar terjadi. Sebab, budaya adalah sesuatu yang dinamis dan selalu bergerak mengikuti zaman dengan pola yang tetap, namun bentuknya yang akan berubah.


“Dalam batas tertentu, kreativitas berbudaya boleh saja. Hanya saja, hidup tidak pernah hitam putih, kecuali menyangkut halal dan haram, serta haq dan bathil. Sehingga semuanya masih bisa diterima dan diapresiasi dalam batas-batasnya sendiri,” ungkap Pegiat Ngaji Suluk Maleman itu.


Mengenai lunturnya nilai gerak jalan itu sendiri, ia menuturkan semuanya tergantung pada sudut pandang melihatnya. Jika dilihat sebagai sebuah pakem atau aturan baku maka fenomena itu bisa dianggap merusak.


“Tapi jika dilihat sebagai sebuah performa pertunjukan maka tidak ada masalah jika mau ditambahkan dengan tarian-tarian tertentu,” tutur Habib Anis.


Menurut dia, fenomena itu tidak berbeda dengan viralnya tampilan nyanyian campur sari dalam acara peringatan 17 Agustus di Istana Negara kemarin dengan bintang Farel Prayoga dari Banyuwangi Jawa Timur. Farel menggoyang Istana dengan lagu bertajuk Ojo Dibanding-bandingke yang ia bawakan.


“Upacara yang selama ini dianggap sakral dan cenderung dingin tiba-tiba berubah menjadi panggung hiburan di mana hampir semua peserta tiba-tiba terserap untuk menari bersama,” pungkasnya.


Kontributor: Afina Izzati
Editor: Musthofa Asrori