Nasional

Ngatawi Al-Zastrouw Kisahkan Spirit Dakwah ala Usmar Ismail

Jum, 3 Desember 2021 | 10:51 WIB

Ngatawi Al-Zastrouw Kisahkan Spirit Dakwah ala Usmar Ismail

Ngatawi Al-Zastrouw. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Budayawan Nahdlatul Ulama (NU) Ngatawi Al-Zastrouw mengungkapkan bahwa sejatinya mensyiarkan pesan mendidik melalui tayangan di beragam media masih menjadi tantangan hingga hari ini. 


Kendati demikian, ia menyebut bahwa girah menebar kebaikan melalui tayangan tak boleh padam. Berkaca pada Bapak Perfilman Indonesia yang sekaligus pendiri dan ketua pertama Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) H Usmar Ismail, Zastrouw memaparkan tiga karakteristik yang dapat dipelajari demi mengaktualisasi spirit dakwah dalam menghadapi situasi tayangan masyarakat saat ini. 


“Bagaimana mengaktualisasikan spirit, kreativitas dan pola pikir Pak Usmar Ismail? Ada tiga karakteristik H Usmar Ismail yang bisa dipelajari dalam menghadapi situasi yang sama saat ini,” ujar Zastrow saat mengisi acara Maulid Nabi Muhammad saw dan Tasyakuran Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional H Usmar Ismail, yang digelar hybrid dan disiarkan langsung dari Kota Depok, Rabu (1/12/2021) malam.


Pertama, menguasai teknologi terkini. Zastrow mengatakan, H Usmar Ismal selalu berupaya untuk mendalami teknologi yang kemudian menjadikannya sebagai alat balik untuk melakukan penyadaran pendidikan dan karakter bangsa. 


Serupa dengan Wali Songo yang menggunakan wayang sebagai instrumen dakwah, maka H Usmar Ismail menggunakan film sebagai saran untuk menebar pesan kebaikan dan menanamkan spirit kebangsaan.


“Kalau kita mau meniru, ya sekarang gunakan gadget untuk membangun kesadaran Islam corak NU, mendidik dakwah Islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah, dan membangun karakter bangsa melalui gadget ini,” kata mantan Ketua Lesbumi PBNU 2004-209 ini.


Kedua, menjadi petarung yang hebat dan cermat dalam mengambil keputusan. Zastrow menyebut bahkan H Usmar Ismail pun tak lepas dari dilema, seperti saat dihadapkan pada kenyataan bahwa memproduksi film bermutu tinggi tak lantas diterima baik oleh masyarakat. Terdapat kesenjangan antara selera dan tingkat pemahaman yang dimiliki masyarakat.


“Ketika membuat film Tamu Agung yang itu ceritanya sangat bagus, dan mendapatkan penghargaan di Festival Film Asia (FFA) tetapi penontonnya nggak ada. Karena penonton yang kelas bawah nggak paham dengan film ini, dan yang kaya juga terpelajar nggak mau nonton karena dikritik melalui film itu,” terang Zastrouw.


Bertolak pada pengalaman tersebut, H Usmar kemudian memutuskan untuk dapat berkompromi dengan melakukan subsidi silang, yakni tetap memproduksi film bermutu dan bersifat mengedukasi beriringan dengan produksi film yang diminati di pasaran.


Terakhir, menumbuhkan kesadaran dalam memilah dan memilih wadah berjejaring berdasarkan kepekaan nurani. Zastrouw menyebut, salah satu hambatan di ranah perfilman adalah kelompok konservatif. Kelompok tersebut dinilai menghambat jalannya kebudayaan. 


“Pak Usmar Ismail milih ke NU karena NU adalah lembaga yang bisa menerima film sebagai instrumen dan bagian dari gerak keagamaan,” katanya.


Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Syamsul Arifin