Nasional

Luput dari Pidato Presiden, JPPI Pertanyakan Komitmen Pemerintah dalam Sektor Pendidikan 

Kam, 17 Agustus 2023 | 12:30 WIB

Luput dari Pidato Presiden, JPPI Pertanyakan Komitmen Pemerintah dalam Sektor Pendidikan 

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji. (Foto/Istimewa)

Jakarta, NU Online
Sekian lembar pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo dalam sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada peringatan HUT Ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia pada Rabu (16/8/2023) kemarin, tak menyinggung kemajuan di sektor pendidikan.

 

Absennya Pemerintahan Jokowi menyoroti isu pendidikan dalam pidato itu disesalkan Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji. 


"JPPI menduga, jangan-jangan karena memang belum ada kemajuan pesat yang bisa dibanggakan di sektor ini. Bahkan, program Merdeka Belajar yang sudah diluncurkan dalam beberapa episode belum mampu membentuk manusia merdeka seperti yang dicita-citakan," kata Ubaid kepada NU Online, Kamis (17/8/2023).


Sebagaimana pengertian manusia merdeka menurut Ki Hajar Dewantara yang saat ini diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia dengan program merdeka belajar. Ubaid menyebut, setidaknya terdiri dari tiga hal utama yakni tidak hidup terperintah, berdiri tegak karena kekuatan sendiri, dan cakap mengatur hidupnya dengan tertib. 


"Kalau kemerdekaan tidak diartikan demikian,  tidak benarlah kemerdekaan itu. Demikian ajaran Ki Hajar Dewantara yang ditulis dalam buku berjudul “Pendidikan”, halaman 400," ungkapnya.

 

Kenyataannya, lanjut Ubaid, dewasa ini pendidikan di Indonesia makin belum merdeka, tapi malah melahirkan mentalitas kaum terjajah. Hal ini tercermin dalam beberapa hal.

 

Pertama, orang miskin masih merasa tidak berhak untuk bersekolah. Cerita anak putus sekolah dan mahalnya uang kuliah masih menjadi barang lumrah. Ternyata, kuasa uang dalam pendidikan di Indonesia masih menjadi segalanya. Hingga kini, yang bisa sekolah dan kuliah adalah orang kaya. Isu pungli, korupsi, dan jual beli kursi masih marak di lembaga pendidikan. 

 

"Kebijakan Program Indonesia Pintar di lapangan masih banyak salah sasaran, baik karena inclution error maupun exclution error. Sistem PPDB pun masih terus menuai masalah karena belum mampu menjamin akses seluruh anak Indonesia," bebernya.


Kedua, maraknya praktik penindasan di sekolah. Sekolah belum menjadi tempat yang aman bagi anak. Praktik kekerasan dan kesewenang-wenangan masih merajalela. Misalnya dari satu kasus, fenomena kekerasan seksual di sekolah. Meski sudah ada peraturan pencegahan kekerasan, tapi belum ada tanda-data penurunan kekerasan di sekolah. 


Berdasarkan pemantauan JPPI, per Januari-Juli 2023, kekerasan seksual telah menelan 405 korban. Hal ini berdasarkan laporan, tentu diduga masih banyak yang tidak dilaporkan. Mayoritas pelakunya adalah guru (83%), sedangkan kebanyakan korbannya adalah peserta didik Perempuan (79%).   


Ketiga, berkembangnya sikap dan perilaku taat karena takut. Persoalan Ini banyak terjadi di sekolah. Satu contoh kasus. Meski tahu perbuatan terlarang, orang tua rela bayar pungli karena takut anaknya dibuli, atau takut anaknya tak dapat kursi.  

 

Peserta didik taat pada guru dan senior karena takut dapat nilai jelek atau takut dipersekusi. Jadi ketaatannya bukan karena kesadaran yang merdeka, tapi ada relasi kuasa yang timpang. Ketakutan ini juga berdampak secara struktural. Komite Sekolah yang seharusnya jadi social control di sekolah, malah membebek pada kepala sekolah. 

 

"Karena itu, tidak pernah kita dengar Komite Sekolah protes bahkan demonstrasi menentang kebijakan sekolah. Begitu pula tidak pernah dengar suara Dewan Pendidikan di daerah, meski mereka tahu banyak kekisruhan di sekolah, misalnya di musim PPDB," jelasnya.

 

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia mencatat tiga poin yang bisa dilakukan pemerintah untuk melahirkan manusia merdeka melalui sistem pendidikan yang ada.

 

Pertama, kesepakatan bersama soal peta jalan pendidikan. Hingga kini pendidikan di Indonesia menurut Ubaid, belum punya peta jalan yang jelas. Ganti menteri ganti kebijakan. Sudah menjadi rahasia umum. Ini bahaya. Arah pendidikan akhirnya tidak jelas. Peta jalan yang dulu pernah digagas oleh Kemendikbud ternyata layu sebelum berkembang dan mendapat penolakan dari berbagai kalangan. 

 

"Mestinya, peta jalan itu kembali kita perdebatkan lalu kita sepakati bersama sebagai satu acuan arah pendidikan nasional," jelas Ubaid.
 


Kedua, stop agenda liberalisasi dan privatisasi pendidikan. Agenda ini akan membonsai dan membatasi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengeksklusi rakyat miskin yang tak terpelajar bahwa pendidikan ini untuk semua, tanpa terkecuali. Liberalisasi pendidikan hanya akan memberikan karpet merah kepada kuasa modal. 


"Jangan gadaikan kedaulatan hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan yanf berkualitas, digadaikan dengan kuasa modal dalam kedaulatan pasar yang diatur oleh sektor swasta (privatisasi). Pendidikan harus menjadi kewajiban pemerintah untuk melayani dan membiayai," katanya.
 


Ketiga, buka seluas-luasnya ruang kemerdekaan untuk bersuara di lembaga pendidikan. Sikap saling menghormati harus dikembangkan di lembaga pendidikan. Tapi janganlah sikap ini kemudian menjadi penyumbat nalar kritis dan suara-suara yang berbeda. 


"Kita belum punya tradisi dan sistem yang kuat untuk bisa menghargai dan merayakan perbedaan suara di sekolah," sesalnya.


Hal ini, ungkap Ubaid, membuat mindset atau mental model membebek berkembang di sekolah. Ini harus dibongkar. 


"Jadi, berikanlah ruang kebebasan kepada guru, peserta didik, dan orang tua untuk bisa bebas bersuara dan mengekspresikan dengan lantang sebagai bagian dari proses pendidikan bersama," tandasnya.