Nasional RISET BALITBANG KEMENAG

Ma'had Aly, Mengembalikan Pendidikan Asli Indonesia

Ahad, 21 Juli 2019 | 00:30 WIB

Ma'had Aly, Mengembalikan Pendidikan Asli Indonesia

Santri Ma'had Aly Sukorejo (Foto: mahad-aly.sukorejo.com)

Ma'had Aly adalah wujud pelembagaan sistemik tradisi intelektual pesantren tingkat tinggi yang keberadaanya melekat pada pesantren. Dalam artian yang lebih mudah dipahami bahwa Ma'had Aly adalah perguruan tinggi atau universitas yang dimiliki pesantren.

Ma'had Aly sebagai perguruan tinggi pesantren tentunya mempunyai peran yang vital untuk mengembangkan tradisi intelektual dikalangan pesantren dan juga mempunyai peran untuk menjaga keilmual-keilmuan agama Islam yang telah menjadi warisan para ulama.
 
Sejak tahun 2016, setelah Menteri Agama RI meresmikan penyelengaraan-penyelenggaraan sejumlah satuan pendidikan Ma'had Aly di beberapa pesantren yang ditandai dengan ijin pendirianya. Maka otomatis pesantren yang mewadahi adanya Ma'had Aly tersebut mempunyai peran baru untuk mengembangkan keilmuan Islam secara formal yang dahulu-dahulu selalu dipegang oleh UIN dan IAIN.

Ada sembilan disiplin ilmu yang dikembangkan di dalam Ma'had Aly ini yaitu 1) Al-Qur'an dan Ilmu Al-Qur'an, 2) Tafsir dan Ilmu Tafsir, 3) Hadist dan Ilmu Hadist, 4) Fiqih dan Usul Fiqih, 5) Akidah dan Filsafat Islam,  6) Tasawuf dan Tarekat, 7) Ilmu Falak, 8) Sejarah Peradaban Islam, 9) Bahasa dan Sastra Arab.

Keberadaan Ma'had Aly yang setingkat dengan perguruan tinggi ini tentu membuat Ma'had Aly mempunyai tugas seperti perguruan tinggi yaitu tanggung jawab akademik dan melaksanakan akreditasi. Walaupun Ma'had Aly setingkat dengan perguruan tinggi, akan tetapi Mahad Aly mempunyai kekhususan sendiri.

Kekhususan ini bisa dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Penda Balitbang-Diklat Kemenag RI pada tahun 2018 tentang pengembangan Ma'had Aly. Penelitian berjudul Pengembangan Pendidikan Ma'had Aly ini menyatakan bahwa sebagai lembaga pendidikan tinggi pesantren, Ma'had aly mempunyai tanggung jawab akademik yang lebih luas.
 
Artinya, walaupun sama dengan IAIN/UIN dalam mengkaji keilmuan Islam akan tetapi Ma'had Aly memiliki kewajiban juga untuk menjaga dan memelihara nilai-nilai dan tradisi pesantren. Karena nilai-nilai dan tradisi pesantren seperti mencium tangan kiai, menjaga adab dan akhlak, muhafadhoh atau hapalan inilah yang menjadi kekhususan Ma'had Aly yang tidak dimiliki perguruan tinggi lainnya.

Dengan keberadaan Ma'had Aly yang dimiliki pesantren ini, rasanya pendidikan asli Indonesia akan kembali terwujud di Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantoro bahwa pendidikan pesantren merupakan sistem pendidikan nasional.
 
Hal ini bisa ditelusuri juga dari apa yang disampaikan oleh Prof Nurcholis Madjid (Cak Nur) bahwasanya pendidikan asli Indonesia adalah pesantren, yang sejak zaman dahulu pesantren telah mengemban amanah untuk mendidik rakyat. Dahulu pesantren berada di perkotaan, pusat peradaban. Akan tetapi, setelah datangnya kolonial pesantren beralih kedaerah pedalaman.
 
Menurut Cak Nur bahwa pendidikan pesantren ini seperti pendidikan di Amerika, Universitas Harvad yang menjadi perguruan terbaik di dunia itu awalnya juga merupakan tempat pendidikan agama yang didirikan oleh Pendeta Harvad sama seperti pendidikan pesantren di Indonesia yang didirikan untuk sekolah agama oleh para kiai, Akan tetapi pendidikan agama Harvad bertransforma menjadi Universitas Harvad.
 
Hal ini pun pastinya akan terjadi terhadap pesantren jika tidak kedatangan Kolonial Belanda di Indonesia. Harusnya nama universitas di Indonesia tidak seperti sekarang seperti UI, UGM dan Undip, akan tetapi Universitas Tremas, Univertas Tebu Ireng, Universitas Ploso, mengikuti nama pesantrennya.

Dengan adanya Ma'had Aly ini semoga akan mengembalikan sistem pendidikan Indonesia. Apalagi saat ini Ma'had Aly sudah ada yang sampai setingkat magister (S2) seperti di Ma'had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo. Itu artinya, kedepan akan muncul profesor dan doktor lulusan Ma'had Aly yang setara keilmuannya atau bahkan lebih dari profesor lulusan perguruan tinggi.

Penulis: Ahmad Khawani
Editor: Kendi Setiawan