Nasional

Maria Ulfah: Kita Perlu Aturan Untuk Mencegah Kekerasan Seksual

Sab, 13 November 2021 | 03:30 WIB

Maria Ulfah: Kita Perlu Aturan Untuk Mencegah Kekerasan Seksual

Komisioner Komnas Perempuan, Hj Maria Ulfah Anshor. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Komisioner Komnas Perempuan, Hj Maria Ulfah Anshor, menekankan pentingnya akses, partisipasi, dan kontrol untuk mewujudkan kesetaraan gender. Baginya, salah satu manfaat kesetaraan gender adalah dapat berpengaruh mencegah timbulnya kekerasan seksual.


“Kesetaraan gender dapat bermanfaat dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Sebab, ketidaksetaraan gender merupakan akar penyebab kekerasan,” kata Maria Ulfah kepada NU Online, Jumat (12/11/2021) malam.


Berdasarkan data Komnas Perempuan 2020, ditemukan adanya lonjakan tingkat pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan selama masa pandemi. Terdapat pengaduan langsung sebanyak 2.389 kasus, atau ada peningkatan 970 kasus (68 persen) dibanding tahun 2019 yang mencatat pengaduan sebanyak 1.419 kasus.


Lonjakan pengaduan ini sangat signifikan jika dibanding rerata penambahan jumlah pengaduan pada lima tahun terakhir atau dalam rentang 2015–2019, yang mana hanya berkisar 14 persen. Pada satu semester 2021, angka pelaporan langsung ke Komnas Perempuan bahkan telah melampaui kasus yang diadukan pada 2020, yaitu lebih 2.500 kasus.


Terlebih lagi, merujuk data Sistem Informasi Online (Simfoni), pada Januari-Oktober 2021 terdapat 7.913 korban kekerasan terhadap perempuan, yang 14,5 persennya merupakan kasus kekerasan seksual. Sementara itu, terdapat 12.262 korban kekerasan terhadap anak dengan angka 53,9 persen merupakan korban kekerasan seksual.


“Setiap tahun kekerasan terhadap perempuan ini konsisten mengalami peningkatan. Ini menunjukkan tiadanya perlindungan dan keamanan terhadap perempuan. Kami menganggap ini telah terjadi pembiaran,” kata Ketum PP Fatayat NU dua periode (2000-2005 dan 2005-2010) ini.


Untuk itu, Maria berharap seluruh pemangku kepentingan harus memiliki perspektif dan kepekaan terhadap penyintas dalam pencegahan sampai penanganan kasus, sehingga upaya penghapusan dan penanganan kekerasan seksual dapat betul-betul membantu korban.


“Perlu menjadi perhatian kita bahwa jumlah tersebut adalah berdasarkan pelaporan, sementera fenomena kekerasan apalagi kekerasan seksual seperti gunung es, di mana jumlah yang sebenarnya dapat lebih besar lagi,” ujar aktivis perempuan kelahiran Indramayu Jawa Barat ini.


Menurut dia, ketimpangan jumlah kasus dan angka pelapor menjadi bukti bahwa hingga kini belum ada aturan hukum yang secara tegas melindungi korban. Alih-alih justru membuat keadaannya semakin terpuruk.


“Padahal, korban kekerasan seksual kerap mengalami trauma seumur hidup. Bahkan, dalam banyak kasus korban kekerasan seksual nekad melakukan bunuh diri,” kata Maria menegaskan.


Hal itu, lanjut dia, terjadi karena mereka sulit untuk bisa kembali pada kondisi fisik, psikis, seksual, ekonomi, sosial, maupun politik seperti sebelum terjadi kekerasan seksual.


“Keadaan ini sesuatu yang sangat sulit karena mereka adalah korban yang merasakan dampak serius,” ungkap Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI) periode 2009 itu.


Oleh karena itu, ia mengingatkan kembali agar korban tidak mendapatkan stigma dan dikucilkan oleh masyarakat. Karena korban kekerasan seksual bukan pelaku, maka korban harus mendapatkan pemulihan secara menyeluruh. “Masyarakat harus bersama-sama merangkul memulihkan korban,” tandas Maria.


Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Musthofa Asrori