Nasional

Memahami Nusantara dalam Konteks Regional Asia Tenggara 

Jum, 28 Oktober 2022 | 06:30 WIB

Memahami Nusantara dalam Konteks Regional Asia Tenggara 

Berbicara tentang Islam di Nusantara, ada pengaruh kuat dari tradisi sejarah masa lampau di Aceh, Malaka, Malaysia. (Foto: masyono.staff.ugm.ac.id)

Jakarta, NU Online

Perkembangan Islam di Asia Tenggara tak lepas dari pengaruh tradisi dan sejarah kerajaan Islam di Nusantara. Hal ini bisa dilihat dari kedekatan kultural keagamaan antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura.


Alumunus MA Student National University of Singapore, M Ahalla Tsauro menjelaskan hal tersebut dalam Dialog Diaspora Santri: Memahami Nusantara dalam Konteks Regional Asia Tenggara diakses Kamis (27/10/2022).  


"Berbicara tentang Islam di Nusantara ini ada pengaruh kuat dari tradisi sejarah masa lampau di Aceh, Malaka, Malaysia. Kawasan ini sangat terkoneksi bagaimana Islam berkembang di Asia Tenggara," kata pria yang akrab disapa Gus Ahalla.


"Di daerah Malaka misalnya, melalui surat-surat yang disebarkan oleh raja-raja di Malaka, Bugis, Sumatera, Aceh yang notabene tradisi di daerah tersebut sangat luas kemudian dibangun kembali. Sehingga, dalam konteks saat ini istilah Nusantara cukup luas khususnya dalam melihat regional asia tenggara dan juga sebagai titik temu Islam saat itu," terangnya.  


Gus Ahalla mengungkap, Singapura sebagai kawasan kecil di Asia Tenggara perkembangan Islamnya sedikit banyak dipengaruhi oleh tradisi dari negara tetangga seperti Malaysia dan Indonesia sehingga kultur NU di sana dinilai cukup kuat. 


"Ketika saya ikut komunitas melayu di sana, mereka sangat mengenal tradisi Islam di Indonesia  yang dianut orang-orang NU. Mereka membaca dan mendalami tradisi tersebut. Saya kira tradisi di sana tidak begitu jauh dengan Indonesia tetapi perlu diinternalisasi bahwa ada komunitas muslim yang mengapresiasi kelompok intelektual Islam di Indonesia," jelasnya.


Salah satu corak keislaman yang dominan adalah berdirinya Masjid Muhammad Salleh dan Masjid Ba’alawi, biasanya masjid ini sering dikunjungi Profesor Quraish Shihab.  Sementara itu untuk tradisi seperti pembacaan ratib al-atthas, kajian kitab kuning, ziarah makam Habib Noh Al-Habsy juga ada.


Diceritakan, pada tahun 2015 sempat ada wacana untuk mengembangkan model NU di Singapura namun karena terhambat regulasi untuk membentuk organisasi tersebut  maka wacana ini hanya dilingkup perguruan tinggi  saja.


"Ada akademisi singapura yang mempelajari orientasi keagamaan maupun gagasan ideologi Islam di Indonesia dalam kaca mata ilmu sosial maupun humaniora. Tapi di sisi lain bicara tentang praktik mungkin tergantung komunitas dengan siapa Anda berkumpul kalau semacam gagasan atau wacana keislaman secara general, NU termasuk yang berkontribusi bahwa islam memiliki sisi toleransi yang cukup ramah dengan tradisi sekitar," bebernya. 


Meski memiliki banyak kesamaan, Ahalla menyebut ada satu tradisi yang berkembang di Singapura yang berbeda dengan tradisi di negara sekitar. Singapura punya perhatian lebih terhadap ulama lokal yang belum terdokumentasikan gagasan-gagasannya. 


Ia lantas mengajak para santri untuk belajar ilmu sosial dan kajian Islam di Asia Tenggara sebab perhatian terhadap kajian tersebut intensitasnya mulai tinggi. Di Singapura misalnya mempelajari kajian NU maupun Islam bisa difasilitasi oleh beasiswa pemerintah maupun perguruan tinggi di tiap negara. 


"Mendokumentasi dan mengkaji orientasi-orientasi dalam perspektif ilmu sosial dan humaniora menjadi pilihan menarik untuk  mengambil kesempatan kuliah di sana (Singapura)," tuturnya.


Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Kendi Setiawan