Nasional

Menag: Kemaslahatan, Ukuran Kesahihan Fatwa Keagamaan

NU Online  ·  Senin, 7 Mei 2018 | 16:00 WIB

Banjarbaru, NU Online
Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, kesahihan sebuah fatwa keagamaan tidak hanya diukur dari dalil-dalil yang dirujuknya, tetapi juga dampak fatwa tersebut terhadap kemaslahatan umat.

Lukman mengakui, mengeluarkan sebuah fatwa keagamaan tidak mudah karena sang pemberi fatwa (mufti) tidak cukup bertanggung jawab di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. 

“Karena itu, ulama memberikan persyaratan yang cukup ketat bagi seorang pemberi fatwa keagamaan,” kata Lukman saat memberikan sambutan dalam acara Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI di Banjarbaru, Senin (7/5).

Dulu seorang pemberi fatwa bersifat perorangan karena banyak ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu, baik Islam atau umum, secara mendalam. Akan tetapi saat ini sangat sulit menemukan seorang ulama yang memiliki keluasan dan kedalaman ilmu seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, atau Hanbali.

“Maka dalam perkembangannya para ulama menyepakati agar proses memproduksi fatwa tidak dilakukan secara sendirian, tetapi secara kolektif,” terang anak Menteri Agama Saifuddin Zuhri ini.

Dua keunggulan berfatwa secara kolektif

Lukman menyebutkan, jika dibandingkan berfatwa secara sendirian (fardi), berfatwa secara kolektif (jama’i) memiliki dua unggulan. Pertama, saling melengkapi. Fatwa yang diputuskan secara kolektif akan lebih lengkap dan mendalam karena diputuskan banyak ulama dengan kapasitas keilmuan yang beragam. Ada ulama yang sangat menguasai fiqih, namun kurang dalam hadist. Begitu pun sebaliknya. 

“Ini karena kian langkanya ulama yang selevel Imam Nawawi dan Imam Syafi’i (saat ini),” jelasnya.

Kedua, meminimalkan dampak negatif fatwa. Bagi Lukman, seorang mufti bukan hanya harus memiliki kecakapan dalam menggali atau menetapkan hukum sesuai teks keagamaan, tapi juga harus memahami penerapan hukum sesuai dengan tujuan syariat (maqashid syariah). (Muchlishon)