Nasional

Mendikbud: Siswi Non-Muslim Wajib Berjilbab adalah Intoleransi

Ahad, 24 Januari 2021 | 07:00 WIB

Mendikbud: Siswi Non-Muslim Wajib Berjilbab adalah Intoleransi

Mendikbud Nadiem Makarim mengaku sejak menerima laporan mengenai kejadian intoleransi di SMKN 2 Padang itu, pihaknya telah berkoordinasi dengan pemerintah daerah, untuk segera mengambil tindakan tegas. (Foto: kemdikbud.go.id)

Jakarta, NU Online
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI Nadiem Anwar Makarim menanggapi kejadian siswi non-Muslim di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat, yang diwajibkan mengenakan jilbab. Kasus itu mencuat setelah salah seorang walimurid mengunggah video adu argumen dengan pihak sekolah, pada Jumat (22/1) lalu.

 

Ditegaskan Mendikbud bahwa hal tersebut merupakan bentuk intoleransi atas keberagaman, sehingga melanggar peraturan perundang-undangan serta nilai-nilai Pancasila dan kebinekaan. Untuk itu, kata Nadiem, pemerintah tidak akan memberikan toleransi kepada guru dan kepala sekolah yang melakukan pelanggaran dalam bentuk intoleransi itu. 

 

"Sekolah tidak boleh membuat peraturan atau imbauan kepada peserta didik untuk menggunakan model pakaian kekhususan agama tertentu sebagai pakaian seragam sekolah, apalagi jika tidak sesuai dengan agama/kepercayaan peserta didik," katanya, dikutip NU Online dari akun Instagram pribadinya, Ahad (24/1) siang.

 

Lebih lanjut Nadiem menjelaskan beberapa landasan atau pedoman perundang-undangan yang berlaku, dalam menanggapi kasus intoleransi di satuan pendidikan negeri itu. 

 

Pertama, Pasal 55 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.

 

Kedua, Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ditekankan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

 

Ketiga, Pasal 3 ayat (4) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Bahwa pakaian seragam khas sekolah diatur oleh masing-masing sekolah dengan tetap memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing.

 

Tindakan tegas untuk SMKN 2 Padang 

Nadiem mengaku, sejak menerima laporan mengenai kejadian intoleransi di SMKN 2 Padang itu, pihaknya telah berkoordinasi dengan pemerintah daerah, untuk segera mengambil tindakan tegas. 

 

"Selanjutnya saya meminta agar pemerintah daerah, sesuai dengan mekanisme yang berlaku, segera memberikan sanksi yang tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat, termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan, agar permasalahan ini menjadi pembelajaran bersama ke depannya," ungkap Nadiem. 

 

Kemdikbud, diakui Nadiem, akan terus berupaya mencegah adanya berbagai praktik intoleransi di lingkungan sekolah. Dalam waktu dekat, sebagai tindakan konstruktif mengatasi kejadian di Padang itu, ia akan mengeluarkan surat edaran dan membuka hotline khusus pengaduan untuk menghindari terulangnya pelanggaran serupa.

 

Tanggapan Alissa Wahid

Sebelumnya, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid juga telah menanggapi kasus tersebut dan meminta Kemdikbud untuk menindak tegas praktik intoleransi yang terjadi di SMKN 2 Padang itu. 

 

Menurut Alissa, sekolah milik negara di wilayah mayoritas umat Islam, seperti di Indonesia ini, tidak bisa atas nama menghormati mayoritas lalu memaksa murid untuk berjilbab. Begitu pula sebaliknya, sekolah di wilayah mayoritas nonmuslim tidak boleh memaksa murid melepas jilbab.

 

"Hak warga atas pendidikan tidak dibatasi oleh pakaiannya," tegas Alissa. 

 

Selain itu, ia mengusulkan pula agar Kemdikbud melakukan dua upaya. Pertama, memperkuat perspektif konstitusi kepada insan-insan pendidikan, sekaligus peran sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang harus selalu pakai kacamata wakil negara.

 

Kedua, memperkuat kembali praktik beragama di  Indonesia yang menghargai keberagaman keyakinan dan jauh dari sikap klaim kebenaran ajaran yang diyakini.  “(Poin) yang ini (kedua) Kemdikbud kudu (harus) kerja sama dengan Kemenag (Kementerian Agama),” kata Alissa mengusulkan.

 

"Tanpa dua hal ini, aturan tegas Kemdikbud akan sulit diinternalisasikan oleh tenaga pendidikan," lanjutnya.

 

Alissa mengaku sudah berulang kali menemukan kasus satuan pendidikan yang tidak membuat aturan berjilbab secara tertulis, tetapi melakukan intimidasi halus kepada siswi muslimah yang tidak menggunakan jilbab. "Makanya soal paradigma kehidupan beragama juga penting, bukan hanya aturan," tutur Alissa.

 

Ia juga menyatakan, pemaksaan atau pelarangan jilbab di sekolah bukan hanya urusan pakaian. Namun di balik itu ada tren penabalan atau penobatan ideologi mayoritarianisme dan eksklusivisme beragama.

 

Hal tersebut bukan hanya berujung pada soal pakaian atau perempuan semata. Tetapi akan sampai ke soal kehidupan kebangsaan. "Semoga suara warga ini sampai kepada yang berwenang dan berkuasa," harap Alissa.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan