Nasional

Menelusuri Tasawuf sebagai Jalan Spiritualitas dan Intuisi

Jum, 10 Juli 2020 | 17:30 WIB

Menelusuri Tasawuf sebagai Jalan Spiritualitas dan Intuisi

Ilustrasi tasawuf sebagai jalan sufi menuju ilahi. (Foto: Dok. NU Online)

Jakarta, NU Online
Tasawuf merupakan jalan yang ditempuh para sufi untuk menemukan cahaya ilahi dan untuk mendapatkan pengetahuan tentang realitas hakiki dari segala sesuatu. Pengalaman spiritual yang aktual, otentik, dan transendental. Ajaran yang tidak terjangkau akal dan pikiran.


Kutipan tersebut disampaikan Ketua Lembaga Pendidikan (LP) Ma'arif PBNU KH Zainal Arifin Junaidi saat memberi sambutan dalam pembukaan Zoominar LP Ma'arif NU, Jumat (10/7).


Zoominar bertajuk ‘Jalan Sufi: Spiritualitas dan Intuisi Pemimpin di Indonesia pada Era Pandemi’ ini menghadirkan dua narasumber, yakni KH Ulil Abshar Abdalla (pengasuh Ngaji Ihya’ Online) dan Rihab Said Aqil. Hadir juga Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj sebagai pembicara kunci.


Zoominar yang dimoderatori oleh MH Bahaudin ini berjalan seru dan menyenangkan. Usai pembukaan dan sambutan, dilanjutkan penyampaian materi oleh Rihab Said Aqil, doktor bidang psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menembus dunia dengan psikologi mistiknya. 


Perempuan yang akrab disapa Ning Rihab itu menyampaikan melalui power point, ada sebuah Hadis Nabi  السلطان ظل الله في ارضه (pemimpin adalah bayangan Allah di muka bumi). Pemimpin haruslah seseorang yang mengikuti prinsip-prinsip kebenaran.

 

 

“Akhlaknya menyerupai akhlak Allah. Maka, pemimpin ideal dalam pandangan tasawuf adalah pemimpin yang selalu terkoneksi dengan Allah,” ujar putri Kiai Said ini.


"Sehingga, segala kebijakan yang dibuatnya bersesuaian dengan kehendak ilahi dan prinsip kebenaran. Kebenaran itu sendiri hanya dapat dicapai dengan qalb atau The Higher Self," tegasnya lagi.


Berbeda dengan Rihab Said Aqil yang menyampaikan materinya dengan sudut pandang ilmiah, Kiai Said yang tak lain adalah ayah Rihab memyampaikan tasawuf dari sudut pandang hakikat jiwa manusia.


"Jiwa manusia itu diciptakan oleh Allah ingin mencapai ketenangan melalui proses bertahap yang sangat panjang, pada hakikatnya nanti wushul pada sa'adah al-qubra 'ala nihayah. Kebahagiaan tanpa batas dan ujung, yaitu ma'rifatullah," paparnya. 


Kritis sosial
Sementara itu, dalam paparannya, Gus Ulil memaknai tasawuf sebagai kritik sosial. Ia kemudian memperlihatkan data-data melalui power point mengenai realitas yang ada.


"Manusia pada dasarnya bisa melakukan eksploitasi terhadap alam secara tak terbatas. Inilah yang menjadi pondasi dari ekonomi kapitalis," ujarnya mengawali materi. 


Gus Ulil menyebutkan, dalam kitab Ihya Ulumiddin ada bab khusus berjudul kasyfi syahwataini yakni tentang cara menaklukkan dua syahwat besar dalam diri manusia, salah satunya adalah syahwat perut.


“Kata al-Ghazali, perut manusia adalah sebuah ruang yang memiliki batas. Wa quluu wasyrabu ilaa anshafi buthunikum. Fa inna dzalika juz’un minan nubuwwah. Makan dan minumlah kalian sampai sepertiga perut kalian. Karena itu merupakan sebagian dari kenabian,” lanjutnya.


Jika mengikuti ilmu tasawufnya al-Ghazali, lanjut dia, mengoreksi orang lain dengan tujuan meninggikan diri sendiri sebetulnya bagian dari nafsu. Maka, jadilah korektor bagi dirimu sendiri. Seperti prinsip para sufi, keras kepada diri sendiri namun toleran kepada orang lain.


“Jadi, mengoreksi kesalahan orang lain itu mudah. Namun, mengoreksi diri sendiri sangat sulit,” pungkas Gus Ulil menutup paparan.


Kontributor: Nila Zuhriah
Editor: Musthofa Asrori