Nasional

Mengapa Orang Bertasawuf Juga Harus Bertarekat?

NU Online  ·  Sabtu, 20 April 2019 | 10:00 WIB

Tangerang Selatan, NU Online
Sekretaris Awwal Jam'iyyah Ahlit Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN) KH Ali M Abdillah menjelaskan, tasawuf merupakan sebuah ilmu dan pengamalan ilmu tersebut bisa dilakukan dengan bertarekat. Tujuan dari orang yang bertarekat adalah untuk ‘sampai’ (wusul) kepada Allah. Namun, sebelum ‘sampai’ kepada Allah, maka manusia harus mengenali nafsu-nafsu yang ada di dalam dirinya. Sebab, nafsu tersebut lah yang menjadi penghalang untuk ‘sampai’ kepada Allah.

“Lha pembahasan nafsu itu ada di dalam ilmu tasawuf. Imam Ghazali sudah menjelaskan secara detil bahwa di dalam diri kita ada empat nafsu; nafsu ammarah, nafsu lawwamah, nafsu sawiyah, dan nafsu muth’mainnah,” kata Kiai Ali di Islam Nusantara Center (INC), Tangerang Selatan, Sabtu (20/4).

Nafsu ammarah dan lawwamah, kata Kiai Ali, merupakan jenis nafsu yang tercela. Sementara nafsu sawiyah dan muth’mainnah adalah nafsu yang terpuji. Oleh karenanya, dua nafsu yang tercela tersebut harus ‘diperangi’ dengan olah batin (riyadhah). 

“Dengan melakukan praktik tasawuf maka dalam menundukkan hawa nafsu, ammarah dan lawwamah, setiap tarekat memiliki cara yang berbeda-beda. Ada yang menganjurkan puasa Senin-Kamis, puasa dawud,” jelasnya.

Pengasuh al-Rabbani Islamic College ini menambahkan, sumber dari nafsu ammarah adalah makanan atau perut kenyang sehingga untuk mengurangi potensi nafsu itu maka harus dengan berpuasa. Berpuasa juga bisa memutus suplai darah dimana darah merupakan tempat lalu lalangnya setan. 

“Dengan berpuasa maka otomatis terjadi proses berhenti untuk suplai darah selama satu hari,” ucapnya. 

Selain berpuasa, lanjut Kiai Ali, para pelaku tarekat juga dianjurkan untuk mempraktikkan dzikir. Diantara dzikir yang paling masyhur di dunia tarekat adalah ‘La Ilaha Illa Allah’. Dzikir ini juga bisa digunakan sebagai upaya untuk menundukkan nafsu ammarah.

“Seperti ‘La’ (bacanya) itu ditarik dari perut ke atas, ‘Ila’ (bacanya) ditarik ke kanan, ‘Illa Allah’ dihantamkan ke hati. Dengan hentakan ‘Illah Allah’ ini diharapkan hati ini selalu ingat kepada Allah,” lanjutnya.

Ketua Mahasiswa Ahlit Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah (MATAN) DKI Jakarta ini mengatakan, para sufi berpuasa dan berdzikir secara istiqomah, baik harian, bulanan, maupun tahunan. Tidak lain, itu adalah upaya untuk menundukkan hawa nafsu.

“Dalam Tarekat Naqsabandiyah ada rutin khalwat (menyepi) 10 hari (pemula), 20 hari (mutawassith), dan ada yang 40 hari (muntahi),” ujarnya.

Kiai Ali memaparkan, menyendiri (khalwat) merupakan latihan untuk mengosongkan hati dan pikiran. Tujuannya adalah untuk mengikis hubungan dengan hal-hal yang bersifat duniawi, sehingga hubungan yang ada hanya berfokus kepada Allah. Para ulama sufi terdahulu melakukan khalwat selama berpuluh-puluh tahun.

“Jika hawa nafsu sudah bisa ditundukkan, maka bisa merasakan surga sebagai tempatnya. Surga bisa bermakna hissi ataupun maknawi,” jelasnya.

Bertasawuf tapi tidak bertarekat

Kiai Ali mengatakan, ada orang yang belajar tasawuf namun dia tidak bertarekat dan ada juga orang yang bertasawuf juga bertarekat. Keduanya memiliki pencapaian spiritualitas yang berbeda. Menurutnya, orang yang belajar ilmu tasawuf namun tidak dipraktikkan dengan bertarekat maka itu akan menjadi sekedar pengetahuan teoritis dan tidak mengalami pengalaman spiritual. Sementara mereka yang bertasawuf dan juga bertarekat maka akan merasakan apa yang dikatakan.

“Sebab orang bertarekat itu punya guru, gurunya punya guru, gurunya punya guru, langsung bersambung kepada Rasulullah. Itu lah pentingnya guru yang muttasil (bersambung) sebab apa yang kita amalkan tetap dalam koridor keteladanan yang sudah dicontohkan Rasulullah,” katanya. (Muchlishon)