Nasional

Menyongsong Haul ke-56 Panglima Hizbullah KH Zainul Arifin

Sab, 23 Februari 2019 | 09:00 WIB

Menyongsong Haul ke-56 Panglima Hizbullah KH Zainul Arifin

Keterangan Foto: Cucu-cucu dan Cicit KH Zainul Arifin di depan Masjid Al Mujahidin, Cibarusah

Catatan dari Masjid Al Mujahidin 
Menyongsong Haul KH Zainul Arifin ke 56, 2 Maret mendatang saya ingin berbagi kisah penelusuran beberapa cucu dan cicit sang Panglima Santri, Laskar Hizbullah ke Masjid Al Mujahidin di Cibarusah, Lemah Abang, Bekasi dua tahun silam. Kami sengaja berkunjung ke sana pada hari Jumat, agar dapat melaksanakan shalat Jumat bersama penduduk setempat.

Temuan Pangeran Senapati
Masjid yang berlokasi di desa Babakan, Cibarusah, Lemah Abang, Bekasi itu konon dibangun oleh Pangeran Senapati yang atas perintah Pangeran Jayakarta menyingkir setelah pasukan Belanda mengalahkan Sunda Kelapa pada Mei 1916. Lokasinya yang berada di tengah hutan jati yang masih terpencil dianggap ideal untuk menyusun kekuatan baru.

Usai membangun mesjid, ternyata terkendala oleh masalah ketersediaan air bersih yang layak untuk wudhu. Hingga ditemukan sumber mata air yang dinyatakan "baru sah" sebagai air yang suci dan mensucikan. Lahirlah nama Cibarusah dari bahasa Sunda yang berarti "cai baru sah" atau "air yang akhirnya sah" untuk berwudhu. Sedangkan kata Babakan diambil juga dari bahasa setempat "bukbak" bermakna "membersihkan".
 
Dipugar Zaman Belanda
Setelah keturunan pengikut Pangeran Senapati bermukim di Cibarusah, masjid desa yang dibangun dari kayu jati berkualitas tinggi diambil langsung dari hutan setempat itu sempat mengalami pemugaran tahun 1930.

Zaman pendudukan Jepang, tepatnya bulan Februari 1945, lokasi hutan jati dipilih oleh petinggi-petinggi Masyumi sebagai tempat pelatihan Laskar Hizbullah. Laskar santri yang dikomandani oleh Ketua Majelis Konsul Jakarta (meliputi pula wilayah Jawa Barat) KH Zainul Arifin. Lokasi dipilih karena tidak terlalu jauh dari Markas Tinggi Hizbullah di Jakarta.

Pelatihan Laskar Santri
Hizbullah yang pembentukannya diizinkan oleh Guisenkan, Pemerintah Militer Jepang, sebagai pasukan cadangan bagi tentara PETA, resmi berlatih sepanjang 12 Februari hingga 14 Mei 1945 diikuti oleh 500 pemuda santri usia 18-25 tahun dari 25 karesidenan se-Jawa-Madura. Mereka berduyun-duyun berdatangan ke Cibarusah menggunakan lori pengangkut tebu melewati Cikampek diiringi pekikan "Allahu Akbar" yang akan terus menjadi seruan semangat jihad Hizbullah dalam setiap medan pertempuran ke depannya.

Para pelatih terdiri dari opsir-opsir Jepang di bawah pimpinan Kapten Yamagawa dan opsir-opsir dari PETA. Selain itu, beberapa kiai terkemuka juga memberikan siraman rohani dan pelatihan olah batin bagi calon-calon opsir Hizbullah itu. Akhirnya, pada penutupan pelatihan Guisenkan dan para petinggi Masyumi menyampaikan amanatnya agar para lulusan pelatihan mengembangkan pasukan-pasukan Hizbullah pula di wilayah masing-masing.

Sayangnya di dalam Masjid Al Mujahidin tidak tampak catatan-catatan sejarah yang begitu penting bagi Laskar Santri Hizbullah. Perlu kiranya masjid kuno ini segera mendapat perhatian dari pemerintah daerah setempat hingga ke tingkat pusat. Sebelum sejarah melupakannya. (Ario Helmy/Abdullah Alawi)