Nasional

Nahdlatut Turots dan Peradaban Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

Sab, 28 Mei 2022 | 00:14 WIB

Nahdlatut Turots dan Peradaban Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

Salah satu hasil penemuan: Al Quran 30 juz tulisan Syekh Abdurrohman Alfadangi

Jika Ketua Umum PBNU, Gus Yahya, mentakwil PBNU sebagai Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), boleh jadi ada yang mentakwil PBNU sebagai Peradaban Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Toh "juang" dan "adab" jadi ciri khas PBNU sejak zaman dulu. Dari perjuangan yang beradab inilah, NU membentuk tradisi peradaban. 

 

Kedatangan Lora Usman Hasan (Bangkalan), Ajengan Ahmad Ginanjar Syaban (Majalengka), dan KH Moh Romly (Probolinggo) ke Padangan, Bojonegoro, pada Jumat (27/5/2022), merupakan satu di antara banyak agenda kerja tim Nahdlatut Turots dalam menjaga peradaban dan pelestarian manuskrip karya ulama terdahulu. 

 

Penemuan manuskrip Padangan dan karya intelektual para ulama terdahulu, tak bisa dipungkiri adalah bukti nyata bahwa NU sudah lahir sebagai energi, jauh sebelum ia berwujud organisasi. Energi yang sudah ada sejak ratusan tahun silam itulah, embrio lahirnya NU pada 1926. 

 

Fakta itu, sesungguhnya sesuai mukadimah buku Khittah Nahdliyah, karya KH Achmad Shiddiq Jember, yang menyebut secara jelas bahwa energi dan esensi NU sudah ada sejak zaman Wali Songo. Energi itulah, yang dipadat-formalkan para muasis NU pada 1926, menjadi Jam'iyah Nahdlatul Ulama. 

 

Kedatangan tim Nahdlatut Turots ke Padangan membeber sebuah bukti penting bahwa Nahdlatul Ulama (NU) memang didirikan ratusan tahun lalu,  sebagai wasilah peradaban dunia. NU terlalu besar untuk sekadar jadi mediator politik partisan. Ini penting untuk diutarakan, agar kita tahu betapa besar posisi NU terhadap peradaban. 

 

Selain berziarah ke makam Syekh Sabillah Menak Anggrung (1578-1650), Syekh Abdurrohman Alfadangi(1785-1880), dan membaca Manuskrip Padangan; tim peneliti juga meriset sejumlah karya tulis Syekh Abdurrohman Alfadangi yang tersimpan rapi di Ndalem Kasepuhan Pesantren Al Basyiriyah, Pethak, Bojonegoro. 

 

Selain manuskrip silsilah, kitab-kitab karya Syekh Abdurrohman terdiri dari berbagai macam tema; mulai pembahasan kitab fiqih, nahwu-shorof, tasawuf, tarikh, hingga jalur sanad keilmuan. Ini membuktikan betapa tradisi intelektual dan budaya literasi di tubuh ulama nusantara, sudah dimulai sejak lama. Sebab, karya tersebut, ditulis pada periode 1800-an masehi. 

 

Ini bukti bahwa guru para muasis NU adalah para penulis. Guru dari para guru muasis NU, juga seorang penulis. Ini alasan utama, kenapa para muasis NU adalah para penulis. Sebab, menulis karya intelektual sudah jadi tradisi peradaban dengan sanad musalsal. Dan dalam tradisi NU, menjaga sanad amatlah penting. 

 

Ajengan Ginanjar Syaban mengatakan, penemuan manuskrip-manuskrip di Padangan, menunjukan arti penting Padangan secara historis. Selain itu, juga jadi peta jaringan intelektual nusantara. Sebab, manuskrip dan sejumlah karya tulis berasal dari awal abad ke-18. 

 

Selain itu, menurut Ginanjar, di Padangan terdapat sosok penting bernama Syekh Abdurrohman Alfadangi yang merupakan penulis produktif dari abad 18. Dari karya tulis Syekh Abdurrohman, bisa terlihat geliat dan jejaring intelektual masa silam. 

 

"Lalu (setelah periode itu), ada juga KH Hasyim Padangan, pengarang kitab Tasrif Padangan, yang mana karya itu sejajar dengan kitab Amsilati Tasrifiah karya KH Maksum Jombang," ujar Ginanjar. 

 

Sementara itu, Lora Usman menyatakan, masih dini untuk menyimpulkan beberapa hal penting terkait sumber primer dan otentik di daerah Padangan, walau sepintas, tim Nahdlatut Turots melihat bahwa islam dan tradisi pesantren sangat kuat di daerah yang dulu dikenal dengan sebutan Jipang tersebut. 

 

Lora Usman menambahkan, ia melihat manuskrip-manuskrip peninggalan Syekh Abdurrohman Alfadangi dengan titi mangsa 1225 H (1810). Begitu juga,  melihat Makhtuth dengan penulis Kiai Ajis bertahun 1237 H (1821). Secara jaringan keilmuan, menurut Usman, ada beberapa tokoh besar yang disebut dalam kitab itu, diantaranya: Kiai Bagus Imam Puro, Kiai Tuyuhan, Kiai Sidoresmo, dan Kiai Keboncandi. 

 

Lebih jauh Lora Usman mengatakan, ada satu kitab yang membuat tim seakan mendapat surprise, yakni kitab Fathul Mannan. Kitab ini juga ditemukan di tulisan Kiai Sholeh Tambakagung Bangkalan, beliau mencatat secara gamblang bahwa beliau mengaji kitab ini pada dua tokoh besar, yakni Kiai Abdul Mannan Dipomenggolo, Muassis Pesantren Tremas, dan Kiai Imam Asy'ari Karanggayam, Mojokerto. 

 

"Insyaallah tim dari Nahdlatut Turots akan mengatur jadwal sowan ke Ndalem Pondok Al-Basyiriyah lagi untuk mendalami temuan berharga ini dengan lebih serius," ujarnya. 

 

Nahdlatut Turots jadi pembuktian nyata terkait visi besar PBNU sebagai wasilah peradaban. Sebab, PBNU bisa diartikan sebagai Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama. PBNU juga boleh diartikan sebagai Peradaban Besar Nahdlatul Ulama. 

 

Juang dan Adab adalah keyword penting Nahdlatul Ulama (NU). Ini alasan kenapa NU diisi para ulama yang memiliki daya "juang" dan figur yang berpegang pada kredo keramat: al adabu fauqol ilmi, "adab" lebih tinggi dari ilmu. Daya juang dan adab, adalah dua energi yang mengkristal dan mentradisi dalam karakter NU. 

 

Kontributor: Ahmad Wahyu Rizkiawan

Editor: Zunus Muhammad