Nasional

Cerita Gus Dur Hibahkan Manuskrip Islam Pesantren ke Perpustakaan Nasional

Ahad, 10 Januari 2021 | 19:00 WIB

Cerita Gus Dur Hibahkan Manuskrip Islam Pesantren ke Perpustakaan Nasional

Relevansi kajian manuskrip-manuskrip kaitanya dengan pemikiran utama Gus Dur ini sangat banyak mengupas kebangsaan, kemasyarakatan dan keislaman. (Foto: Dok NU Online)

Tangerang Selatan, NU Online
Pada tahun 1998 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menghibahkan sekitar 62 manuskrip Islam asal pesantren ke Perpustakaan Nasional. Legesi dari Gus Dur ini seharusnya dilanjutkan oleh para pengagum pemikiran Gus Dur. 

 

Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Oman Faturahman mengatakan hal itu pada Haul Gus Dur Kesebelas yang diadakan Gusdurian Ciputat secara virtual, Ahad (10/1) malam.


"Apa yang saya geluti selama ini yaitu kajian manuskrip-manuskrip Islam Nusantara sesunguhnya secara substansif adalah  kajian terhadap sesuatu yang menggambarkan pemikiran Gus Dur khususnya terkait pribumisasi islam," kata Prof Oman.


Akademisi yang akrab disapa Kang Oman melanjutkan relevansi kajian manuskrip-manuskrip kaitanya dengan pemikiran utama Gus Dur ini sangat banyak mengupas kebangsaan, kemasyarakatan dan keislaman. Namun, dalam pembahasan tersebur, Prof Oman mengatakan dirinya mengambil angle atau sudut pandang pribumisasi Islam.

 

Hubungan agama dengan negara di Indonesia, lanjut Prof Oman, umumnya membentuk peradaban tersendiri dan itu yang selalu digaungkan oleh Gus Dur terkait dengan pribumisasi Islam. Visi dari seorang Gus Dur terkait dengan relasi agama dan negara dalam konteks Islam selalu ada adaptasi, tidak pernah dihadapkan secara berbenturan antara agama dan negara.

 

Kunci pribumisasi Islam
Pada haul bertema Gus Dur di Mata Para Cendikiawan tersebut, Prof Oman juga menyampaikan terdapat empat kata kunci dalam pribumisasi Islam. Pertama, pribumisasi Islam berawal dari jaringan atau networking. Artinya, pribumisasi Islam berawal dari jaringan ulama yang menghubungkan para murid di luar Nusantara.

 

"Melalui Jaringan ini kemudian antara Muslim Nusantara dengan Muslim di luar Nusantara  sepeti Makkah, Madinah, India, Kairo. Maka terjadilah apa yang kita sebut kata kunci kedua itu transmisi," terangnya.

 

Kemudian ada transmisi keislaman dari Islam normatif, yaitu Islam yang dalam tradisi klasik ditulis para ulama salaf itu ditransmisikan melalui para muslim Nusantara yang terlibat dalam jaringan. Ketika para ulama nusantara kembali ke tanah air setelah belajar di tanah suci kemudian mentransimikan pemikiran-pemikirannya di bidang tafsir, fiqih, tauhid. 


Kitab- kitab klasik yang dipelajari di pesantren itu yang membawa adalah para ulama, tetapi, tidak berhenti pada membawa saja. "Ini kata kunci yang ketiga dalam proses pribumisasi Islam ini terutama adalah adaptasi," ujar Prof Oman.


Para ulama Nusantara sadar betul bahwa nilai-nilai keislaman tidak bisa dipahami begitu saja dalam bahasa Arab. Tidak bisa dipahami fiqih dalam konteks Arab, tidak bisa tafsir dibiarkan dalam konteks Arab. Maka ketika masuk ke Melayu, Jawa, ke daerah-daerah Nusantara selalu ada adaptasi baik dari segi substansi maupun bahasa. 


Kata kunci keempat ada vernakularisasi, ada penerjemahan teks- teks ajaran islam baik secara substansif maupun secara bahasa ke dalam bahasa lokal dan konteks lokal. Kata kunci terakhir ada kontekstualisasi. " Jadi fiqih yang berkembang dari Arab fatwa imam syafii qaul qadim, qaul jadid itu masuk ke Nusantara diadaptasi, diterjemahkan, dikontekstualisasi sehingga muncul pemikiran-pemikiran fiqih baru termasuk fiqih siyasah," bebernya.

 
Nahdlatul Ulama (NU) menjadi satu organisasi Muslim yang pertama kali menerima asas tunggal. Hal itu karena memang karakter berbeda dengan gerakan transnasional. "Manuskrip islam sesungguhnya menggambarkan proses  itu," tegasnya. 
 

Selain itu, pribumisasi Islam dalam konteks kajian sumber primer Islam Indonesia sesungguhnya pintunya bisa melalui filologi. "Pribumisasi Islam pintu masuk untuk membangun dan merekonstruksi  peradaban Islam Nusantara," pungkasnya.


Pewarta: Suci Amaliyah
​​​​​​​Editor: Kendi Setiawan