Nasional

Ngaji Suluk Maleman Bahas Masalah Perubahan Iklim

Rab, 24 November 2021 | 16:45 WIB

Ngaji Suluk Maleman Bahas Masalah Perubahan Iklim

Pengasuh Pengajian Suluk Maleman, Anis Sholeh Ba’asyin. (Foto: dok. Suluk Maleman)

Jakarta, NU Online

Pengetahuan bangsa Indonesia dinilai tidak kalah bila dibandingkan dengan pengetahuan modern yang berasal dari barat. Hal itulah yang dinilai penting untuk kembali digali sebagai jati diri bangsa. Topik tersebut menjadi bahasan dalam Suluk Maleman edisi ke-119 pekan lalu yang diangkat untuk ikut merespons persoalan perubahan iklim global.


Muhammad Ghofur, salah seorang narasumber yang juga peneliti nutrisi dan iklim menyebut ada banyak pengetahuan dan tekhnologi tradisional yang terbukti efektif dan tak kalah dengan pengetahuan modern barat.


“Seperti sistem pranoto mongso itu sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Itu menjadi pengetahuan bangsa,” terang Ghofur.


Lewat pranoto mongso itu, para petani bahkan bisa mengetahui perkiraan cuaca sehingga bisa dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Seperti jamur yang mulai tumbuh menjadi penanda hujan.


“Di Gunungkidul juga seperti saat ada burung tertentu itu yang menjadi penanda musim penghujan. Ini tentu penting terutama bagi para petani yang belum tersentuh sistem irigasi,” ujar Ghofur.


Orang Nusa Tenggara Timur (NTT) bahkan bisa menentukan kapan mereka harus memajukan atau mengundurkan waktu tanam agar dapat memperoleh hasil maksimal. Terutama saat dihadapkan pada musim kering atau minim hujan. 


Hanya saja sekarang ini pengetahuan timur seringkali masih dipandang sebelah mata. Hal itu lantaran masih jarang diangkat lewat jurnal, maupun didiskusikan di tingkat internasional. Sehingga lebih banyak yang mengakui pengetahuan barat ketimbang kearifan lokal.


“Ini tentu bisa menjadi salah satu bentuk justifikasi pengetahuan. Pengetahuan timur dianggap rendah bila dibandingkan pengetahuan barat,” ujar Ghofur.


Padahal meski ilmu titen serta pranoto mongso tidak banyak dibahas dalam jurnal, namun pengetahuan tersebut dulunya sangat dekat dengan keseharian masyarakat. Hal itu terlihat banyak ditemukan tak hanya dalam kitab namun banyak berserak di sastra pujangga, kesenian, tradisi dan budaya hingga cerita tutur.


Sementara itu, Pengasuh Pengajian Suluk Maleman, Habib Anis Sholeh Ba’asyin menambahkan, anggapan bahwa bila tidak memakai pengetahuan Eropa dan Amerika menjadi sesuatu yang tertinggal haruslah diubah. Lantaran banyak pula pengetahuan tradisional yang memang sangat efektif.


“Seperti halnya obat herbal. Padahal sudah dipercaya bertahun-tahun dan begitu efektif. Namun karena munculnya obat farmasi perlahan herbal tersingkir. Padahal tak sedikit ilmu modern yang justru memunculkan persoalan baru seperti di sejumlah bidang yang tidak ramah lingkungan,” tegas Habib Anis.


Oleh karenanya, penggagas Suluk Maleman itu mengingatkan agar dalam berfikir harus mampu melihat secara utuh. Jangan sampai memblok pengetahuan dengan pemikiran tertentu sebelum melihatnya dengan baik. Tak terkecuali perbandingan antara pengetahuan timur dan barat.


“Sebenarnya kita punya posisi yang setara, tapi tidak berani menegaskannya. Kalau kita merendahkan pengetahuan timur tak ada bedanya kita menghakimi seseorang tanpa melihat persoalannya,” tegasnya.


Abdul Jalil, salah seorang narasumber lainnya turut memberi pandangan yang menarik. Dalam diri manusia dikatakannya ada rasio, indra, dan intuisi. Sementara di luar diri ada semesta. Kesemuanya itu dikatakannya harus ada keseimbangan.


“Namun sekarang tidak ada keseimbangan tersebut. Karena terseret pengetahuan yang hanya mengedepankan rasio dan indra tapi intuisi tidak jalan. Inilah yang jadi persoalan. Intuisi dimatikan,” tegasnya.


Sehingga, dia menambahkan, orang lebih percaya apa yang dilihat dan dipikirkan dan mengalahkan apa yang dirasakan dan suara hatinya. Jika itu dilihat untuk melihat realitas maka yang terjadi tentunya ketimpangan.


“Seperti hal sederhana yang dipakai sebagai parameter untuk mengukur kepintaran sekarang nilai. Nilai didapatkan hanya dengan mengerjakan soal tertulis. Tidak ada hubungan fakta dan pengetahuan. Bahkan keimanan juga dinarasikan dalam bentuk soal tertulis. Iman sekarang ini hanya menjadi persoalan menghafal rukun iman, bukan bagaimana menjalankannya,” tegasnya.


Dia menambahkan, pernah ada kisah saat ada hama yang menyerang kemudian salah seorang kyai datang dan memberikan tulisan “Hama Dilarang Masuk”. Rupanya setelah kejadian itu memang tak ada hama yang masuk.


“Jika dilihat secara dangkal tentu yang terjadi adalah klenik. Namun mereka lupa jika hama tersebut juga sama-sama makhluk Tuhan sehingga bisa diajak berkomunikasi. Sang Kyai tersebut meminta agar padi miliknya tidak dihabiskan hama lantaran dibutuhkan untuk konsumsi para santri,” ujarnya.


Oleh karena itulah Abdul Jalil mengajak agar kita bisa belajar menyeimbangkan antara hati, otak dan indranya. Sehingga dapat memandang segala sesuatu sebagai keutuhan. 


Dalam Suluk Maleman tersebut juga turut dimeriahkan dengan koleksi Sampak GusUran. Terlihat ribuan masyarakat antusias menyaksikan ngaji budaya itu dari berbagai kanal media sosial.


Pewarta: Fathoni Ahmad

Editor: Kendi Setiawan