Nasional

Ngaji Suluk Maleman: Ramadhan Momentum Bersih-bersih

Ahad, 17 Maret 2024 | 18:00 WIB

Ngaji Suluk Maleman: Ramadhan Momentum Bersih-bersih

Anis Sholeh Ba’asyin dan Ali Fatkhan dalam Ngaji NgAllah Suluk Maleman ‘Bersih-bersih’ yang digelar di Rumah Adab Indonesia Mulia, Sabtu (16/3) (Foto: Dok. Suluk Maleman)

Pati, NU Online
Momen Ramadhan tak saja mengajari kita untuk menahan lapar dan haus saja, tapi lebih dari itu juga mengajarkan agar kita membersihkan diri dan melatih diri untuk berhati - hati.

Topik itu menjadi bahasan dalam gelaran Suluk Maleman edisi ke 147 pada Sabtu (17/3) malam. Anis Sholeh Ba’asyin mengatakan, Ramadhan menjadi momen yang pas untuk bersih-bersih baik dari diri sendiri maupun lingkungan; baik lingkungan terkecil, seperti keluarga; sampai lingkungan besar, seperti bangsa dan dunia.


“Apa yang harus dibersihkan dari diri kita, dan kenapa harus dibersihkan? Bicara bersih-bersih harus dimulai dari titik paling dasar yakni diri kita,” terangnya.


Bersih-bersih itu penting lantaran banyak hal yang ternyata mempengaruhi diri manusia. Tak sedikit pengaruh itu justru membawa dampak negatif. Padahal manusia diturunkan ke bumi sebagai khalifah; yakni untuk mengelola alam dan lingkungannya, bukan sebaliknya: dicetak dan dikendalikan oleh alam dan lingkungannya.


“Berapa banyak hal keputusan kita yang di kendalikan dari luar? Benarkah saat memutuskan sesuatu kita sudah berdasarkan hati yang bersih?” tanyanya membuka diskusi.


Oleh karena itulah puasa melatih manusia untuk lebih berhati-hati, untuk mengambil jarak yang cukup dengan alam dan lingkungannya. Secara fisik, puasa mengajarkan pentingnya untuk mengendalikan makan, minum dan syahwat. Orang yang hanya berpikir tentang makanan seringkali disibukkan dengan cari makan.


“Yang terjadi kita hanya memikirkan perut saja kalau sudah seperti itu maka tak bisa berpikir yang lain. Maka dari itu puasa jangan sampai dikendalikan perut. Tapi kendalikanlah perut kita seperti yang diajarkan oleh puasa,” ujarnya.


Begitu pula dengan syahwat. Anis menyebut jika syahwat bisa berarti nafsu, kekuasaan dan berbagai hal lainnya. Oleh karenanya kehati-hatian pertama manusia seharusnya ada pada diri sendiri, pada pikiran dan pendapatnya. Syahwat harus dikendalikan, bukan mengendalikan kita.


“Kisah nabi Ibrahim yang diminta menyembelih puteranya juga mengajarkan kita untuk tidak terlalu jauh memikirkan masa depan generasi yang kita tinggalkan. Tidak boleh kita terlalu memikirkan anak dan masa depannya; karena itu sepenuhnya urusan dari Allah,” terangnya.


Kehati-hatian itu bahkan juga jelas ditunjukkan lewat kekuasaan manusia pada fisiknya. Seperti dalam hal makan, meskipun bisa makan apapun dan dirasakan begitu enak namun ternyata hal itu belum tentu baik untuk kesehatan.


“Hal itu mengajarkan yang merasakan enak itu hanya di lidah saja. Bagian yang sangat kecil dari tubuh kita. Tapi pencernaan, dan organ tubuh lain tidak merasa seperti itu. Maka kita diajak membatasi, mengendalikan sekalipun kepada apa yang diberi kekuasaan pada kita,” ingatnya.


Oleh karenanya dia melihat puasa seperti memasuki gua Hira. Bagaimana melihat diri sendiri dan menemukan titik jernih dalam menilai. Titik jernih yang didasari kewaspadaan dan kehati-hatian.


Sementara itu Ali Fatkhan, salah seorang narasumber lainnya menyebutkan Nabi sendiri pernah mengalami dua momentum bersih-bersih. Kali pertama saat masih kecil dan didatangi dua orang yang dianggap malaikat untuk kemudian dibelah dadanya dan dibersihkan.


“Peristiwa kedua memang saat di Gua Hira menyendiri melakukan perenungan dan beribadah secara sunyi. Maka perenungan menjadi salah satu metode kita untuk bersih-bersih. Seperti mengikuti Suluk Maleman ini bagaimana merenungkan diri menjadi merdeka berfikir dan tidak hanya ikut-ikutan saja,”ujarnya.


Topik yang begitu hangat ngaji budaya itu pun dirasakan oleh ratusan orang baik datang langsung ke Rumah Adab Indonesia Mulia maupun melalui berbagai platform media sosial Suluk Maleman. Koleksi lagu dari Sampak GusUran juga ikut meramaikan jalannya diskusi tersebut.