Nasional

NU-Muhammadiyah Dorong Kepemimpinan Moral, Gus Awis: Harus Dimiliki Pemimpin Indonesia

Sen, 5 Juni 2023 | 09:00 WIB

NU-Muhammadiyah Dorong Kepemimpinan Moral, Gus Awis: Harus Dimiliki Pemimpin Indonesia

Katib Syuriyah PBNU KH M. Afifudin Dimyathi atau Gus Awis. (Foto: IG ribath_hidayatulquran)

Jakarta, NU Online

Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya bersama Ketum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof H Haedar Nashir sepakat mendorong kepemimpinan moral dalam menghadapi pemilihan umum (pemilu) 2024 mendatang. Kepemimpinan moral disampaikan saat rombongan Muhammadiyah bersilaturahim ke kantor PBNU di Jalan Kramat Raya 164 Jakarta, Kamis (25/5/2023) lalu.


Mengenai kepemimpinan moral, Katib Syuriyah PBNU KH M. Afifudin Dimyathi menjelaskan bahwa kepemimpinan moral dalam konteks kontestasi politik adalah kepemimpinan yang mengutamakan etika dan moral politik dalam mewujudkan cita-cita bangsa yang luhur dan beradab.


"Ini sangat penting bahkan paling penting yang harus dimiliki calon pemimpin Indonesia, karena ini semacam jaminan awal bahwa ia akan berjuang mempertahankan keutuhan bangsa dan tak akan memanfaatkan kepemimpinannya untuk kepentingan golongan," ungkap kiai yang akrab disapa Gus Awis ini kepada NU Online, Sabtu lalu.


Gus Awis pun menegaskan bahwa para pemimpin Indonesia tidak hanya di kalangan eksekutif, tetapi juga legislatif dan yudikatif, juga gubernur, bupati/walikota, camat, kepada desa/lurah, hingga ketua RT.


Sebab itu, dalam mewujudkan kepemimpinan moral tersebut, menurutnya, perlu dukungan dan keterlibatan seluruh masyarakat. Karena pemimpin pada hakikatnya adalah cerminan rakyat. "Makanya ini (kepemimpinan moral) dimulai dari kesadaran masyarakat," jelasnya.


Meski tentu tidak mudah, lanjut Gus Awis, tapi ikhtiar bersama dalam memupuk kesadaran akan pentingnya kepemimpinan moral harus terus dilakukan. Pasalnya, pesta demokrasi yang akan diselenggarakan sesungguhnya bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bangsa jangka panjang.


Di samping itu, kata Gus Awis, masyarakat juga hendaknya menjauhi narasi-narasi politik identitas dan narasi-narasi kebencian kepada lawan politik, sehingga pesta ini bisa diselenggarakan dengan riang gembira, elegan dan bermartabat.


"Dengan begitu, pasti kepemimpinan yang dihasilkan pesta demokrasi yang demikian lebih bermoral," ucap pengasuh Asrama Hidayatul Qur’an Pondok Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang, Jawa Timur ini.


Gus Awis ini lebih jauh menyampaikan bahwa pemimpin yang bermoral pasti akan berjalan dalam arah yang telah digariskan oleh para pendiri bangsa ini. "Dan harapan kita tentu saja, ini mampu mewujudkan keharmonisan dan kemakmuran serta mendapat kemudahan dari Allah swt dan mendapat dukungan segenap elemen rakyat. Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur," tuturnya.


Ia mengajak kepada segenap elemen NU dan masyarakat pada umumnya untuk melewati pesta demokrasi tahun 2024 nanti dengan riang gembira, tanpa melibatkan emosi yang berlebihan.


"Insyaallah ketenangan kita dalam menghadapi tahun politik mendatang akan memudahkan kita memilih pemimpin yang bijaksana dan bermoral sebagaimana kita inginkan bersama," tandasnya.


Sebelumnya Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf menegaskan bahwa kepemimpinan moral sangat diperlukan dalam politik agar para politisi tak hanya mengedepankan kepentingan-kepentingan pragmatis.


"Dalam politik ini perlu ada kepemimpinan moral supaya tidak disetir dengan kepentingan-kepentingan pragmatis," kata Gus Yahya.


Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof H Haedar Nashir mengatakan bahwa kepemimpinan moral diharapkan untuk menjadikan Pemilu 2024 lebih bermartabat. Kepemimpinan moral itu, jelasnya, melahirkan arah dan visi kebangsaan yang jelas sehingga kontestasi politik tak hanya berupa ajang mencapai kekuasaan semata.


"Tapi ada visi kebangsaan apa yang mau dibawa, diwujudkan yang berangkat dari fondasi yang diletakkan para pendiri bangsa," tutur Prof Haedar.


Ia menjelaskan, kepemimpinan moral yang disepakati itu diharapkan mampu menyetir kontestasi politik menjadi lebih baik. Siapa pun pemimpin negeri ini yang terpilih, maka dia akan menjadi satu kepemimpinan yang sadar atas perilaku baik dan buruk.


"Kami sebagai kekuatan keagamaan kemasyarakatan yang non-politik praktis punya panggilan moral, hadir tanpa merasa paling benar sendiri," tegas Prof Haedar.


Pewarta: Syamsul Arifin

Editor: Fathoni Ahmad