Nasional

Pangeran Diponegoro adalah Santri, Belajar ke Banyak Kiai

Sab, 16 Januari 2021 | 07:30 WIB

Pangeran Diponegoro adalah Santri, Belajar ke Banyak Kiai

Pangeran Diponegoro, putra Hamengkubuwana III dengan nama lahir Bendara Raden Mas Mustahar ini juga berguru atau mondok di Kiai Taftazani Kertosono. Lalu, Pangeran Diponegoro juga belajar Tafsir Jalalain dengan KH Baidlowi Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah. (Foto:Tirto)

Jakarta, NU Online
Selain sebagai pahlawan nasional, Pangeran Diponegoro adalah seorang santri. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyebut, Kiai Hasan Besari Tegalsari, Jetis, Ponorogo adalah salah satu gurunya. 

 

"Kemudian Abdul Hamid ini menulis dengan tangannya sendiri kitab Fathul Qarib. Sampai sekarang, kitab dan kursi tempat dia duduk untuk menulis masih ada di Museum Kedu, Magelang, Jawa Tengah," ungkap Kiai Said, dalam Haul Pangeran Diponegoro yang digelar secara daring, Jumat (15/1) malam.

 

Kiai Said menjelaskan, Putra Hamengkubuwana III dengan nama lahir Bendara Raden Mas Mustahar ini juga berguru atau mondok di Kiai Taftazani Kertosono. Lalu, Pangeran Diponegoro juga belajar Tafsir Jalalain dengan KH Baidlowi Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah. 

 

"Terakhir Pangeran Diponegoro, setelah belajar ilmu syariat, beliau ngaji ilmu hikmah kepada KH Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang. Itulah ternyata Pangeran Diponegoro adalah seorang santri dan ulama," beber Kiai Said.

 

Dijelaskan pula, darah yang mengalir di tubuh Pangeran Diponegoro adalah spirit santri, ulama, dan para mujahid yang mukhlis serta tanpa pamrih. Lebih-lebih tanpa kepentingan apa pun. Sebab, kata Kiai Said, putra Raden Ayu Mangkarawati yang masih memiliki darah dengan Sunan Ampel itu dididik oleh para kiai yang luar biasa. 

 

"Guru-guru Pangeran Diponegoro itu adalah para kiai khowas, kiai sepuh yang punya kearifan sehingga ajaran-ajarannya masuk ke dalam hati dan kepribadian. Sehingga Pangeran Diponegoro pun tumbuh menjadi ulama sekaligus pejuang," ungkap Kiai Said.

 

Ulama nasionalis-religius

Pada haul bertema Menjaga Wairsan Nusantara ini, Kiai Said menyontohkan, di era modern, berkat kiprah yang dilakukan Pangeran Diponegoro melawan VOC Belanda, maka ia bisa dikatakan sebagai seorang yang nasionalis. Sosok yang mencintai negeri, seorang aktivis nasionalis tapi juga sekaligus seorang ulama. 

 

"Pangeran Diponegoro berarti ulama nasionalis. Nasionalis yang religius," tegas Kiai Said.

 

Itu artinya, sambung Kiai Said, para ulama terdahulu sudah berhasil memiliki karakter dalam metode dakwahnya sehingga mencapai keberhasilan. Metode dakwah itu adalah mampu menerima perpaduan antara Islam dan nasionalisme. 

 

"Maka kalau kita dengar sekarang, masih ada saudara-saudara Muslim kita yang masih mempersoalkan dan mempermasalahkan kebangsaan, mari kita berikan penjelasan kepada mereka bahwa nasionalisme tidak bertentangan sama sekali dengan agama Islam," lanjutnya. 

 

Pangeran Diponegoro seorang faqih dan sufi

Di kesempatan yang sama, Wakil Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah KH Achmad Chalwani mengatakan, Pangeran Diponegoro adalah seorang faqih, sufi, memiliki guru syariat dan tarekat.

 

Kiai Chalwani menjelaskan bahwa salah seorang guru Pangeran Diponegoro yakni KH Baidlowi Bagelen adalah seorang ulama besar yang memiliki putra Kiai Hasan Muhibat. Salah seorang keturunannya adalah Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan RI. Sementara Kiai Hasan Besari Tegalrejo adalah guru ilmu syariat Pangeran Diponegoro. 

 

"Ada sosok ulama yang menjadi manggulayu dunya (menggerakkan dunia) bagi Diponegoro, yaitu KH Abdurrauf, kakek dari KH Dalhar Watucongol, Magelang," jelas Kiai Chalwani.

 

Kiai Chalwani juga menjelaskan bahwa pusat peperangan berada di kampung Benteng, dekat langgar agung tempat Diponegoro bermujahadah. Selain itu, Pesantren Api Tegalrejo Magelang pun menjadi tempat mujahadahnya yang lain.

 

"Jadi, Pangeran Diponegoro lahir di Yogya punya peninggalan mujahadah di dua tempat. Mujahadah dilakukan Pangeran Diponegoro dengan niat mendapat keberkahan dari sang guru KH Nur Muhammad," jelas Kiai Chalwani.

 

Tidak boleh melupakan sejarah

Inisiator Haul Pangeran Diponegoro sekaligus Ketua PBNU KH Marsudi Syuduh menegaskan, warga NU tidak boleh melupakan sejarah yang telah ditorehkan Diponegoro yang telah menyatukan para kiai pesantren dan ulama tarekat di Nusantara. 

 

"Beliau juga menyatukan para habaib ketika itu. Maka kita tidak boleh melupakan hasil dan tinggalan semangat perjuangan beliau. Karenanya kita harus bisa mensyukuri adanya kemerdekaan bangsa ini dengan cara menjaga NKRI," jelas Kiai Marsudi. 

 

Ia berasalan bahwa diadakannya haul itu adalah ikhtiar untuk tetap menjunjung tinggi penghormatan kepada Pangeran Diponegoro, sebagai pahlawan bangsa. "Kita tidak boleh melupakan tonggak sejarahnya atas peninggalan beliau (berupa) sebuah kemerdekaan Indonesia," jelasnya.

 

"Betapapun beliau sudah wafat, tapi kita harus tetap menjunjung tinggi dan tidak boleh terputus perjuangannya. Agar kita juga jangan sampai terputus semangat perjuangannya," tegas Kiai Marsudi.

 

Dengan kata lain, ia mengajar agar sebagai penerus bangsa Indonesia harus senantiasa tersambung semangat perjuangan menjaga negeri ini. Hal tersebut dalam rangka menjaga warisan nusantara berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan