Nasional

Pasien Tidak Jujur, Banyak Tenaga Medis Meninggal Saat Tangani Covid-19

Kam, 30 April 2020 | 13:00 WIB

Jakarta, NU Online
Para tenaga medis memiliki peran yang sangat besar dalam penanganan Covid-19. Saat banyaknya jumlah pasien yang dinyatakan positif Covid-19, tim medislah yang harus melakukan penanganan terhadap pasien.
 
Karena itu, banyak pihak kemudian menyebut bahwa tim medis adalah garda terdepan dalam penanganan Covid-19. Bahkan, praktisi Kemanusiaan Internasional Yogi Mahendra mengatakan, tenaga medis harusnya adalah palang pintu, bukan garda depan.
 
"Dengan posisi demikian (palang pintu), tenaga medis berada di bagian akhir dalam penanganan wabah. Sementara di garda depan adalah masyarakat sendiri," kata Yogi.
 
Banyaknya jumlah tenaga medis yang meninggal menjadi keprihatinan masyarakat. Data hingga 28 April 2020, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengonfirmasi telah kehilangan 25 anggotanya akibat pandemi virus corona Covid-19 yang masih berlangsung.

"Informasi yang diterima PB IDI setidaknya ada 25 dokter yang dikabarkan meninggal karena positif Covid-19 dan PDP Covid," kata anggota Bidang Kesekretariatan, Protokoler, dan Public Relations Pengurus Besar (PB) IDI, Halik Malik dikutip dari Kompas.com.
 
Terkait meninggalnya tenaga medis termasuk dokter, ahli Epidemiologi Universitas Indonesia, dr Syahrizal Syarif mengatakan lebih banyak hal itu disebabkan oleh adanya ketidakterbukaan dari pasien-pasien yang kemungkinan yang tertular Covid-19 ketika meminta layananan tenaga medis. Pasien yang datang ke rumah sakit, sering kali tidak mengatakan yang sebenarnya terkait aktivitas serta riwayat perjalanan yang sudah dilakukan.
 
Dikutip dari Kompas.com, sebanyak 53 tenaga medis di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta menjalani tes swab setelah ada keluarga pasien positif Covid-19 yang tidak jujur. "Iya benar, keluarganya yang tidak jujur," ujar Kepala Bagian Hukum dan Humas RSUP Dr Sardjito Yogyakarta Banu Hermawan.
 
Sebelumnya sebanyak 64 tenaga medis di RSUD Abdul Wahab Sjahranie, Samarinda, Kalimantan Timur, menjalani isolasi mandiri karena kecolongan menangani pasien terduga Covid-19. Para dokter dan tenaga perawat tersebut melakukan penanganan medis kepada pasien dengan keluhan non-Covid-19, ternyata belakangan pasien tersebut hasil rapid test-nya reaktif.
 
"Total ada 64 tenaga medis kita istirahatkan dulu di rumah sambil isolasi mandiri karena kontak erat demgan pasien rapid test reaktif," kata Plt Direktur RSUD Abdul Wahab Sjahranie (AWS) dr David Masjhoer di Samarinda, Kalimantan Timur, diberitakan Kompas.com, Rabu (29/4).
 
Menurut Syahrizal, para tenaga medis telah menghindarkan diri dari kecerobohan atau ketidakhati-hatian dalam situasi ini, terutama untuk mereka yang bekerja di UGD dan praktik swasta. Di antaranya dengan penggunaan alat pelindung diri (APD).
 
"Sebetulnya saat ini tenaga medis ekstra hati-hati dan tidak ceroboh (dalam bertugas)," kata Syahrizal. "Karena tenaga medis yang berada di UGD dan praktik pribadi hati-hati menerapkan standar internasional dalam pencegahan. Hal ini supaya tenaga medis tidak tertular," imbuhnya.
 
Untuk menjaga kekebalan tubuh, tenaga medis juga harus mengurangi atau mengatur jam kerja, agar tidak terjadi kelelahan. Mengurangi kewaspadaan, ujar Ketua PBNU Bidang Kesehatan ini, artinya menurukan sistem kekebalan. 
 
"Terutama saat melepas APD mereka juga harus mengikuti prosedur tetap, dalam protokol dalam melepas APD," ujarnya.

Protokol menggunakan dan melepas APD pun ada aturannya. Seperti jangan menyentuh bagian luar dari APD yang dipakai. Pasalnya saat bekerja bagian luar itulah yang bersentuhan dengan pasien atau benda-benda yang rentan mengandung virus.
 
Pewarta: Kendi Setiawan
Editor: Abdullah Alawi