Opini

Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 7)

Kam, 30 April 2020 | 10:00 WIB

Oleh Warsa Suwarsa
 
Wabah yang pernah terjadi dan meluluhlantakkan kehidupan manusia sering kali berlangsung dalam kurun waktu, gelombang masa, dan periode. Seperti halnya maut hitam yang berlangsung dari tahun 1346 – 1353 tidak terjadi secara serentak di satu kawasan. Wabah lebih terlihat mengikuti pola tertentu dalam penyebarannya. Selesai di satu wilayah, kemudian muncul di wilayah lainnya. Wilayah yang telah pulih masih belum bisa dikatakan pulih sepenuhnya karena dapat saja wabah datang kembali pada gelombang atau periode selanjutnya. Rata-rata wilayah di Eropa diterjang maut hitam tidak hanya dalam satu kali.
 
Asal Mula Maut Hitam dan Penyebarannya
Penyelidikan dan penelitian penyebab maut hitam yang terjadi di abad pertengahan masih terus dilakukan melalui pendekatan sejarah. Harus diakui, sampai sekarang, konsentrasi penelitian terhadap kemunculan berbagai wabah memang kurang dilakukan dan belum mendapat perhatian serius dari para peneliti kecuali di saat wabah lain muncul seperti di masa sekarang. Tidak heran buku-buku, jurnal, dan catatan klasik lebih mendominasi literasi tentang sejarah atau peristiwa wabah yang pernah terjadi, seperti halnya maut hitam yang ditulis oleh Giovanni Boccaccio dalam The Decameron. Beruntung sekali catatan tersebut bisa sampai ke tangan kita, manusia-manusia modern.
Penelitian yang lebih serius mengenai maut hitam dan wabah lainnya yang pernah mengguncang kehidupan padahal dapat menjadi acuan bagi kita, manusia modern, dalam mengelola penanganan wabah dan bencana-bencana lainnya jika terjadi. Saat ini, ketika dunia telah tertular virus corona, mayoritas negara-negara dengan jumlah pasien positif Covid-19 terlihat gugup dan gelisah bagaimana cara yang tepat harus dilakukan untuk menghentikan penyebaran virus yang semakin masif. Melalui sejarah wabah dan penangananyalah kita dapat mengambil pembejalaran berharga dalam menangani wabah-wabah di masa sekarang dan di masa yang akan datang.

Tidak berbeda dengan virus corona, maut hitam yang disebabkan oleh bakteri yersinia pestis berawal dari negeri Tiongkok. Sebuah kemasygulan sampai saat ini masih memenuhi ruang pikiran penulis, kenapa bisa demikian, artinya asal mula wabah berasal dari Tiongkok? Apakah hanya kebetulan saja atau ada hal lain yang perlu diteliti secara lebih mendalam. Penyebaran maut hitam di abad pertengahan tercacat melalui jalur dari Tiongkok sampai ke Atlantik. Kemunculan wabah di Tiongkok, misalnya, diawali oleh serangkaian peristiwa besar pada tahun 1333, sekitar lima tahun sebelum maut hitam menyisir wilayah-wilayah Eropa.

Pada tahun tersebut, Tiongkok diterjang kekeringan berkepanjangan disertai oleh kelaparan di wilayah yang membentang dari Sungai Xiang sampai Huai. Kekeringan berkepanjangan itu diikuti oleh musim hujan lebat disertai badai yang sangat dahsyat. Banjir dengan skala yang sangat luas melanda dua per tiga wilayah ini dan telah menewaskan 400 ribu orang. Bencana kekeringan, kelaparan, kemudian banjir, selanjutnya disusul oleh keruntuhan Gunung Tsincheou pada tahun 1334. Iklim yang ganas dan sangat ekstrem tersebut menjadi habitat baik bagi pertumbuhan bakteri. Setelah kekeringan melanda wilayah Tche, muncul wabah baru, sekitar 5 juta orang tertular bakteri yang kemudian dikenal sebagai yersinia pestis.
 
Bagi penduduk Tiongkok, saat itu memang pantas disebut sebagai era purgatorium, penyucian kehidupan. Gempa  bumi terjadi menyusul serangkaian bencana yang telah ditulis sebelumnya. Gempa bumi yang terjadi di dekat Provinsi Kingsai itu telah memorakporandakan kehidupan. Alam terus mengamuk seolah belum puas, gunung-gunung di Ki-Ming-Chan runtuh, membentuk danau yang sebetulnya menjadi kuburan massal para penduduk di wilayah tersebut. Peristiwa yang terjadi di daratan Tiongkok pada masa itu mengingatkan kita kepada serangkaian peristiwa pada era Musa yang menimpa Bangsa Mesir. Beberapa bulan setelah keruntuhan gunung di Ki-Ming-Chan, kekeringan menerjang provinsi Honan dan Houkuang, terjadi peningkatan populasi belalang yang menghancurkan seluruh vegetasi utama sumber produsen bagi penduduk.

Tahun berikutnya, gunung Hong-Tchang runtuh tenggelam dan mengakibatkan banjir, ratusan ribu hektar persawahan dan perkebunan rusak, diikuti oleh hujan yang turun secara terus-menerus selama tiga bulan. Genangan air akibat banjir yang tidak pernah terjadi sebelumnya telah menghancurkan tujuh kota di Tiongkok. Karl Hecker dalam The Black Death, and The Dancing Mania pada bab tersendiri menyebutkan penyebaran maut hitam berlangsung dari Tiongkok ke Eropa melalui jalur pulau Siprus saat terjadi  gempa bumi disertai badai yang begitu menakutkan. Para penduduk melarikan diri dari pulau diliputi kecemasan ke segala arah. Laut meluap, kapal-kapal hancur berkeping menubruk bebatuan, pulau yang subur dan dipenuhi oleh bunga-bunga itu hancur sama sekali. Entah bagaimana, sebelum bencana mengguncang Siprus dan wilayah pesisisir Laut Tengah, angin yang berhembus pun menyebarkan racun mematikan, orang-orang yang terkena hembusan angin tiba-tiba jatuh dan meninggal dengan kondisi mengerikan.

Bagi kita, orang-orang modern, tentu saja narasi seperti ini seolah hanya kita temukan pada film-film fantasi. Anggapan seperti ini ternyata tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang mengalaminya saat itu hingga abad ke 19, mereka masih merasa heran dengan fenomena alam yang sangat ganjil tersebut, apa yang menjadi penyebab atmosfer memuntahkan racun mematikan?
 
Ilmu Pengetahuan sampai sekarang juga belum menjumpai adanya unsur beracun yang ada dalam atmosfer kita. Cara baru dalam menafsirkan ungkapan atmosfer beracun dikemukakan oleh Hecker dengan kalimat sederhana namun rasional; maut hitam ditularkan melalui embusan angin. Penafsiran tersebut diakui oleh dirinya sebagai hal yang paling relevan dengan waktu itu mengingat kondisi sains atau pengetahuan saat peristiwa terjadi masih terbilang rendah, pengamatan yang akurat juga sangat kurang.

Bencana alam dan nonalam yang terjadi pada tahun 1348 melanda sekitar 2/3 dunia. Laporan dari Jerman menyebutkan secara tegas, kabut tebal ditambah bau menyebar dari Timur, melaju dengan cepat ke seluruh Italia. Laporan tersebut menyebutkan juga fenomena ganjil tersebut sama sekali bukan merupakan rekayasa baik oleh sains atau rekaan verbal. Realitas yang terjadi saat itu semakin memperkuat keyakinan para penganut tradisi semitik tentang zaman akhir dan hari penghakiman.
 
Gempa Tidak Terkendali di Eropa
Hecker sangat relevan menyematkan ungkapan dancing mania  di dalam bukunya, mengingat kemunculan maut hitam bersamaan dengan gempa bumi yang saling susul-menyusul. Pada 25 Januari 1348 gempa bumi besar mengguncang Yunani, Italia, dan negara-negara tetangganya. Desa-desa dari mulai Bologna, Pisa, Napoli, Roma, Padua, Venesia, dilaporkan mengalami kondisi terparah. Pemukiman penduduk porak-poranda, rumah-rumah, kastil, dan gereja banyak yang runtuh. Para korban meningal dan terkubur  di bawah puing reruntuhan bangunan. Setelah gempa bumi mereda, ribuan mayat dikeluarkan dari dalam timbunan puing-puing bangunan. Sulit bagi kita untuk membayangkan kehebatan gempa mengingat durasinya hampir mendekati dua minggu lamanya.

Villach, sebuah kota di sebelah selatan Austria menjadi daerah terparah karena gempa bumi. Kondisi kota benar-benar hancur total, ribuan penduduk meninggal dan hanya menyisakan sedikit orang yang selamat. Dalam kondisi kekalutan tersebut dikatakan bahwa gunung-gunung seolah telah berpindah dari tempat semula. Doomsday yang dipandang sebagai pikiran takhayul oleh para saintis Eropa semakin menguat diyakini oleh orang-orang Eropa. Hal tersebut disempurnakan dengan kengerian baru, pada tanggal 20 Desember 1348 muncul bentuk menyerupai tiang api selama satu jam di Avignon. Meteor besar juga muncul di banyak tempat semakin menguatkan bercampurnya mitos-mitos dengan keyakinan semitik. Dalam banyak mitos yang berkembang, peristiwa yang terjadi di langit seperti adanya meteor, komet, pergeseran letak rasi, diyakini memiliki pengaruh signifikan terhadap peristiwa-peristiwa yang ada di Bumi.

Kemunculan komet Atlas pada bulan Desember 2019  sampai dengan Maret 2020 dengan tingkat kecerlangan yang semakin kuat dihubungkan sebagai pertanda akan munculnya wabah besar seperti pandemi Covid-19. Di dalam tradisi masyarakat Nusantara sampai sekarang masih berkembang pandangan kehadiran lintang kemukus dini hari dapat menjadi pertanda bencana, kerusuhan, kekacauan, perang, kelaparan, kematian, atau wabah penyakit. Keyakinan itu tetap bertahan hingga kini. Prahara besar G30/S/PKI ditandai oleh kemunculan komet Ikeya-Seki pada pertengahan September 1965.
 
Dalam pandangan para saintis, di setiap milieu, mitos-mitos dapat saja dikatakan bertolak belakang dengan sikap rasional. Namun tentu saja sangat sulit dilawan atau dibantah karena selalu memiliki korelasi dengan fakta yang terjadi. Satu tahun setelah maut hitam, muncul fenomena aneh, sinar bulat matahari dengan ukuran besar –seolah tepat– menempel pada atap peristirahatan Paus di Avignon. Hal ini diyakini sebagai pertanda buruk, kehidupan akan dihadapi dengan masa-masa yang dipenuhi oleh kepahitan.

Boccacio membuat ungkapan menarik, urutan musim seolah menjadi berubah. Eropa tidak lagi mengenal musim panas, gugur, dingin, dan semi kecuali empat  musim yang diakibatkan oleh bencana alam dan non-alam; hujan, banjir, kegagalan panen, dan kelaparan. Lumbung-lumbung persediaan makanan memang dimiliki oleh kelompok elite Eropa saat itu, tetapi dengan rusaknya benih gandum akibat hujan yang turun terus-menerus selama empat bulan, lambat laun pasokan sumber makanan bisa habis. Empat bulan berikutnya, seperti yang diduga oleh mereka, kelaparan benar-benar seperti “tarian baru” yang menghantui Eropa dalam skala besar; Anak-anak meninggal  karena kelaparan dalam pelukan ibu mereka.

Kehilangan harapan, kesengsaraan, dan keputusasaan menjadi hal umum di seluruh Eropa. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika kehidupan lebih didominasi oleh musibah, bencana alam, lalu disusul oleh bencana nonalam seperti maut hitam.
 
Babak baru selanjutnya, dua dekade setelah maut hitam gelombang kedua, Eropa dan negara-negara tetangganya akan memasuki era perubahan mental, moral, dan sosial yang dipenuhi oleh kengerian. Akan penulis paparkan pada tulisan selanjutnya.
 
Penulis adalah guru MTs-MA Riyadlul Jannah Cikundul, Sukabumi, Jawa Barat